Halaman

Minggu, 16 Oktober 2016

SEBAB-SEBAB PERBEDAAN FUQAHA DALAM MENGISTINBATHKAN HUKUM
( IKHTILAF )
Description: LogO UIN.jpg
 







MAKALAH

Diajukan  untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah

Masailul Fiqhiyyah Al Haditsah

Oleh :
( KELOMPOK 2 )

MUSTANG.H
RISKA PURNAMASARI
HARIANTO

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN  PENDIDIKAN AGAMA SLAM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2015

KATA PENGANTAR


Alhamdulillahi Rabbil’ Alamin penulis panjatkan kehadirat Allah swt. Rab yang Maha pengasih lagi Maha penyayang atas segala limpahan Rahmat dan Petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Sebab-Sebab Perbedaan Fuqaha dalam Mengistinbatkan Hukum ”. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada rasullullah Muhammad saw.
Makalah ini berisi tentang latar belakang timbulnya suatu perbedaaan pendapat antara ulam fiqih. Semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan para pembaca. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Maka dari itu penulis mengharap kritikan dan saran demi kesempurnaan tulisan berikutnya.
Akhir kata, penulis ucapkan  terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini. Semoga Allah Swt. Membalas dengan pahala yang berlipat.Aamiin.





Makassar,  April 2015

Penulis












DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii

BAB I   PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah............................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah........................................................................................ 2
C.     Tujuan ......................................................................................................... 2

BAB II  PEMBAHASAN........................................................................................
A.    Pengertian Ikhtilaf................................................................................. ....... 3
B.     Ikhtilaf dalam Lintasan Sejarah ................................................................... 4
1.      Ikhtilaf di Masa Nabi SAW ................................................................... 4
2.      Ikhtilaf di Masa Sahabat ........................................................................ 4
3.      Ikhtilaf di Masa Tabi’in .......................................................................... 5
4.      Ikhtilaf di Masa Ahl Hadits dan Ahl Ra’yi ........................................... 5
C.     Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf .................................................................. 5

BAB III  PENUTUP
A.    Simpulan...................................................................................................... 9
B.     Saran-saran................................................................................................... 9
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Wafatnya Rasulullah SAW menandai berakhirnya pembentukan syari’at Islam. Para sahabat sebagai perpanjangan tangan Nabi dalam melestarikan dan mengembangkan Islam dihadapkan pada persoalan sosial yang sangat kompleks. Namun kepergian beliau tidak berarti berakhirnya pembentukan hukum Islam. Rasulullah SAW telah meninggalkan warisan yang sangat berharga untuk dipedomani oleh umatnya, yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Sehubungan persoalan umat semakin berkembang dan tidak mungkin semuanya terakomodasi  dalam al-Qur’an dan sunnah, maka jauh-jauh hari Rasulullah telah memberikan contoh melalui pembicaraannya dengan Mu’az bin Jabal, bahwa penyelesaian persoalan umat itu berpedoman kepada al-Qur’an atau sunnah, kalau tidak ditemukan solusinya maka diselesaikan melalui ijtihad yang tentu saja tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utama tersebut.
Dengan berpedoman kepada pesan ini, para sahabat dan tabi’in kemudian berijtihad disaat mereka tidak menemukan dalil dari al-Qur’an atau sunnah yang secara tegas mengatur suatu persoalan. Ijtihad para sahabat dan tabi’in inilah kemudian yang melahirkan fiqih.  Perbedaan kuantitas hadits oleh kalangan tabi’in, ditambah pula perbedaan mereka dalam menetapkan standar kualitas hadits serta situasi dan kondisi daerah yang berbeda menyebabkan terjadinya perbedaan dalam hasil ijtihad mereka. Selain itu perbedaan hasil ijtihad juga ditunjang oleh kadar penggunaan nalar (rasio), yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya beberapa mazhab dalam fiqih.
Perbedaan adalah sebuah sunnatullah kehidupan. Setiap orang melihat suatu masalah dari sudut pandang, lalu memberikan kesimpulan sesuai dengan sudut pandang dan hasil pemikirannya. Hal yang sama juga terjadi dalam upaya menafsirkan al-Qur’an. Telah menjadi sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa ikhtilaf atau perbedaan pandangan dalam menafsirkan ayat-ayat Allah juga terjadi sejak dahulu.
Dalam memahami ajaran agama, sudah tentu tidak akan lepas dari persoalan bagaimana seseorang memahaminya dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Demikian halnya fiqih yang memiliki karakter peluang memiliki perbedaan dimana seorang ulama akan memiliki pemahaman sesuai dengan apa yang difahaminya dan dia akan menyimpulkan dengan kesimpulan mereka menyimpulkan hukum sesuai dengan kriterianya masing-masing. Inilah yang yang sesuai dengan standar ketetapan yang diakuinya pula. Ini semua terjadi pada para imam madzhab, dimana membuat kesimpulan hukum mereka yang berbeda-beda.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan ikhtilaf ?
2.      Bagaimana sejarah adanya ikhtilaf ?
3.      Apa penyebab timbulnya ikhtilaf  di kalangan fuqaha?

C.    Tujuan
1.      Untuk memahami pengertian ikhtilaf
2.      Untuk mengetahui sejarah munculnya ikhtilaf
3.      Untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya ikhtilaf di kalangan fuqaha



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ikhtilaf
      Ikhtilaf (  اختلاف )  menurut bahasa ialah perbedaan pendapat, pemikiran, perbedaan warna, jenis, yang berkonotasi pada perubahan.[1]
      Al-Qur’an menyebutkan kata ikhtilaf dalam sebelas ayat[2].diantaranya :
QS. An-Nahl ayat 46 :
!$tBur $uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# žwÎ) tûÎiüt7çFÏ9 ÞOçlm; Ï%©!$# (#qàÿn=tG÷z$# ÏmŠÏù   Yèdur ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9 šcqãZÏB÷sムÇÏÍÈ
Terjemahnya:
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.(QS. An-Nahl:46) [3]
      Sedang menurut istilah ialah perbedaan para ulama, khususnya ahli fikih tentang suatu masalah furu’ yang tidak memunyai dalil yang qath’iy.[4]
      Bertentangan pada umumnya adalah berarti berlawanan. Pertentangan demikian dilarang dalam agama islam. Tetapi perbedaan pendapat karena titik tujuan yang sama adalah rahmat. Misalnya sejumlah orang berangkat dari suatu tempat ke tempat lain. Sebagiannya berangkat dengan mobil, sebagian lagi dengan kapal laut, sebagian lagi dengan sepeda motor. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan ‘Umar ibn ‘Abdul Aziz:

ان اختلاف رحمة.                                                                                                          
Terjemahnya:
Sesungguhnya perbedaan pendapat itu adalah rahmat.[5]

B.     Ikhtilaf dalam Lintasan Sejarah
      Tradisi ikhtilaf sudah dikenal dalam sejarah perkembangan hukum islam sudah cukup lama dikenal. Sudah ada pada masa Rasulullah, yakni ketika para sahabat mulai menggunakan ra’yu dalam memahami nash dan petunjuk-petunjuk Rasul. Hal itu berlanjut pada periode sahabat, tabi’in bahkan mnculnya ikhtilaf di kalangan ulama-fuqaha periode tabi’tabi’in telah secara sunguh-sungguh membentuk karakteristik dan format mazhab-mazhab fikih yang kita kenal hingga sekarang .[6]
      Dalam lintas sejarah, ikhtilaf dimulai sejak zaman Rasulullah, sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in.[7] Uraiannya sebagai berikut:
1.      Ikhtilaf Sahabat di Masa Nabi SAW.
      Ketika Rasulullah SAW. Berwudhu, para sahabat menyaksikan cara Nabi SAW. Berwudhu dan kemudian berwudhu sesuai dengan yang mereka saksikan. Tanpa menerangkan mana yang wajib dan mana yang sunnah. Demikian pula dengan shalat haji dan sebagainya. Rasulullah tidak pernah menerangkan bahwa rukun wudhu itu ada enam atau empat, atau menjelaskan bahwa berwudhu harus dilaksanakan berurutan, sehingga wudhu dikatakan sah atau tidak. Sementara itu, para sahabat juga kurang bertanya tentang masalah-masalah demikian.kalaupun ada yang bertanya, maka ketika itu pula Rasulullah langsung memberikan fatwa.
2.      Ikhtilaf di Masa Sahabat Nabi SAW.
      Sejak masa-masa yang awal, bahkan belum lagi mereka selesai menguburkan Rasulullah, telah timbul ikhtilaf atau perbedaan pendapat di kalangan sahabat. Ikhtilaf pertama terjadi menyangkut masalah siapa yang paling berhak memegang tampuk pimpinan kaum muslimin. Kubu Anshar memandang bahwa mereka paling berhak untuk menempati posisi khalifah, karena merekalah yang paling berjasa menolong Nabi SAW. Kubu muhajirin berpendapat bahwa merekalah yang paling berhak karena mereka adalah kerabat Rasulullah SAW.
3.      Ikhtilaf di Masa Tabi’in
      Akibat perbedaan di kalangan sahabat, muncullah beberapa aliran. Generasi tabi’in memanfaatkan pendapata para sahabat itu sebagai rujukan dalam menetapkan hukum, disamping Al-Qur’an dan Hadits. Perbedaan-perbedaan di kalangan sahabat itu dibandingkan, ditarjih, dan diambil yang lebih mudah dan lebih benar. Karena jumlah ulam atabi’in juga banyak, di kalangan mereka pun kemudian muncul perbedaan-perbedaan sehingga setiap ulama besar tabi’in melahirkan madzhabnya sendiri dan di setiap negeri terdapat tabi’in sendiri.
4.      Ikhtilaf Ahlul Hadits dan Ahlurra’yi
      Dua golongan yang berbeda dari kalangan jumhur ulama dalam menetapkan hukum, adalah ahl al-hadits dan ahl ar-ra’yi. Ahl al-hadits berorientasi kepada nash ( Al-Qur’an dan Hadits ) serta asar dalam menetapkan hukum.
      Pembagian ke dalam dua golongan ini berakar pada masa sahabat. Di masa itu sumber fikih secara urut adalah Al-Qur’an, sunnag Rasululah dan ra’yu. Ra;yu dapat dijadikan dasar jika suatu masalah tidak terdapat dalam dua sumber sebelumnya. Golongan pertama kurang kurang menggunakan Ra’yu karena khawatir keliru dalam berijtihad tentang agama. Golongan ini adalah Abdullah Ibn Umar (w.73 H) yang banyak mengikuti Rasul. Ibnu Umar berpengetahuan luas tentang hadits. Selama enam puluh tahun setelah Rasululah wafat, ia aktif memberi fatwa kepada kaum muslimin, khususnya pada musim ibadah haji.
      Adapun sahabat yang terkemuka dalam golongan kedua antara lain Umar bin Khattab dan Ibnu Mas’ud. Sebagai contoh, Umar tidak memotong tangan pencuri pada musim paceklik, padahal di dalam surah Al Maidah (5) ayat 38, orang yeng mencuri dihukum potong tangan.[8]
C.    Sebab-Sebab Terjadinya Ikhtilaf
Abu Ishaq as-Syatibiy menyebutkan delapan sebab terjadi perbedaan pendapat di antara para fuqaha, yakni:
1.      Ada lafazh nash yang musytarak, memerlukan ta’wil.
2.      Ada lafazh nash yang bermakna hakikat dan majaziy
3.      Ada dalil yang diperselisihkan kesahihannya
4.      Ada dalil yang umum dan khusus
5.      Ada dalil yang riwayatnya diterima oleh sebagian, dan ditolak oleh sebagian
6.      Karena berbeda cara dalam ijtihad dan qiyas
7.      Ada yang menerima nasakh dan ada yang menolaknya
8.      Ada karena ta’arud,yaitu pertentangan antara dua dalil.[9]
      Dari pendapat teresebut maka penyebab terjadinya perbedaan dalam istinbath hukum dapat dikelompokkan kepada empat bagian, yaitu:
1.       Perbedaan fuqaha dalam memahami lafadzh
Contohnya lafadzh khinzir pada surah al-Maidah ayat 3:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$#  ....
Terjemahnya:  
            Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,..[10]
Sebagian ulama, seperti golongan Hanafiyah mengatakan bahwa khinzir yang dimaksud adalah umum. Mereka berpegang pada lahir lafadzh. Maka haramlah babi darat dan babi laut. Tetapi sebagian ulama mengartikan dengan babi darat saja dan menghalalkan babi laut, mengingat firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 96:
¨@Ïmé& öNä3s9 ßø|¹ ̍óst7ø9$# ¼çmãB$yèsÛur ....
Terjemahan:
 Dihalalkan bagimu binatang buruan laut  dan makanan (yang berasal) dari laut ….[11]

2.      Perbedaan fuqaha dalam menerima riwayat dari Rasulullah SAW.
            Pengetahuan para sahabat terhadap hadits-hadits Nabi tidak sama. Adakalanya sahabat yang lain mendengar suatu hadis yang tidak didengar oleh sahabat lain, kemudian mengamalkannya. Sedangkan sahabat yang tidak mendengarkan hadis tersebut, beramal dengan hadis yang lain. Hal ini disebabkan karena kadangkala Rasulullah SAW. Memutuskan suatu perkara pada suatu pertemuan yang hanya di dengar oleh sahabat yang hadir pada waktu itu, sedangkan hadits tersebut tidak sampai kepada mereka yang tidak hadir.
3.      Perbedaan fuqaha tentang ta’arudh al-adillah ( dalil yang dianggap bertentangan )
Hal ta’arudh ini paling banyak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama/fuqaha dalam mengistinbatkan hukum. Berikut ini dikemukakan lima macam ta’arudh al-adillah.
a.       Ta’arudh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Contoh: surah An-Nahl ayat 8 dengan surah Al-Mu’minun ayat 79

Ÿ@øsƒø:$#ur tA$tóÎ7ø9$#ur uŽÏJysø9$#ur $ydqç6Ÿ2÷ŽtIÏ9 ZpuZƒÎur 4 ß,è=øƒsur $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÑÈ
Dan (Dia Telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai, agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya.
uqèdur Ï%©!$# ö/ä.r&usŒ Îû ÇÚöF{$# Ïmøs9Î)ur tbrçŽ|³øtéB ÇÐÒÈ
Dan dialah yang menciptakan serta mengembang biakkan kamu di bumi Ini dan kepada-Nyalah kamu akan dihimpunkan.



b.      Ta’arudh Al-Qur’an dengan As-Sunnah
* ¨bÎ) y7­/u ÞOn=÷ètƒ y7¯Rr& ãPqà)s? 4oT÷Šr& `ÏB ÄÓs\è=èO È@ø©9$# ¼çmxÿóÁÏRur ¼çmsWè=èOur ×pxÿͬ!$sÛur z`ÏiB tûïÏ%©!$# y7yètB 4 ª!$#ur âÏds)ムŸ@ø©9$# u$pk¨]9$#ur 4 zOÎ=tæ br& `©9 çnqÝÁøtéB z>$tGsù ö/ä3øn=tæ ( (#râätø%$$sù $tB uŽœ£uŠs? z`ÏB Èb#uäöà)ø9$# 4 zNÎ=tæ br& ãbqä3uy Oä3ZÏB 4ÓyÌó£D   tbrãyz#uäur tbqç/ÎŽôØtƒ Îû ÇÚöF{$# tbqäótGö6tƒ `ÏB È@ôÒsù «!$#   tbrãyz#uäur tbqè=ÏG»s)ムÎû È@Î6y «!$# ( (#râätø%$$sù $tB uŽœ£uŠs? çm÷ZÏB 4 (#qãKŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qàÊ̍ø%r&ur ©!$# $·Êös% $YZ|¡ym 4 $tBur (#qãBÏds)è? /ä3Å¡àÿRL{ ô`ÏiB 9Žöyz çnrßÅgrB yZÏã «!$# uqèd #ZŽöyz zNsàôãr&ur #\ô_r& 4 (#rãÏÿøótGó$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî 7LìÏm§ ÇËÉÈ
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka dia memberi keringanan kepadamu, Karena itu Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran dan Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.                
Ayat di atas tampak bertentangan dengan hadits Rasulullah sebagai berikut:
عن عبادة بن الصامت ان رسول الله عليه  وسلم قال : لا صلاة لمن لم يقرء بفاتحة الكتاب . ( رواه البخارى و مسلم )
Dari ‘Ubadah bin As shamit berkata bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. Bersabda: tak ada shalat bagi orang yang tidakm membaca Al-Fatihah.” ( HR. Bukhari dan Muslim )
c.       Ta’arudh antara as-sunnah dengan as-sunnah
d.      Ta’arudh antara as-sunnah dengan Qiyas
e.       Ta’arudh antara qiyas dengan qiyas
Adapun cara menyelesaikan dalil-dalil yang ta’arudh yakni dilakukan dengan al-jam’u wa taufiq,jika tidak bisa maka lakukan tarjih, jika tidak bisa maka dilakukan nasikh-mansukh dan kalau tidak bisa maka tawaqquf.[12]
4.      Perbedaan fuqaha tentang kaidah-kaidah ushul dan sebagian sumber istinbat
Ulama berbeda pendapat dalam penetapan hukum fikih, disebabkan perbedaan penggunaan dalil di luar Al-Qur’an dan Sunnah, seperti : amal ahli Madinah, dijadikan dasar fikih oleh Imam Malik, tidak dijadikan dasar oleh imam yang lainnya. Begitu pula perbedaan dalam penggunaan ijma’, qiyas, maslahat al-mursalah, istihsan, istishab, ‘Urf dan sebagainya yang oleh sebagian ulama dijadikan dasar dan sebagian yang lain tidak menjadikannya dasar dalam mnetapkan hukum, sekalipun sebenarnya perbedaan itu hanyalah tingkatan penggunaan.[13]



BAB III
PENUTUP

A.    Simpulan
Dari pembahasan makalah ini dapat disimpulkan bahwa :
1.      Ikhtilaf  ialah perbedaan para ulama, khususnya ahli fikih tentang suatu masalah furu’ yang tidak memunyai dalil yang qath’iy.
2.      Ikhtilaf dalam sejarah sudah ada sejak zaman Rasulullah sampai tabi’tabiin dan generasi seterusnya
3.      Sebab terjadinya perbedaan fuqaha dalam mengistinbatkan hukum, secara umum terdiri atas empat faktor. Yaitu perbedaan tentang lafadzh, perbedaan periwayatan hadits, perbedaan masalah ta’arudh adillah dan perbedaan dalam mengambil sumber hukum.
B.     Saran
Semoga makalah ini dapat memotivasi pembaca untuk membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional. Karena tanpa pemaduan itu semua, akan sangat sulit, apalagi jika itu masalah ikhtilaf atau khilafiyah.Serta memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Karena tanpa sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw (berlebih-lebihan) dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah khilafiyah yang ada.








Daftar Pustaka

Al-Baqqy, Muhammad Fuwad Abd, Al-Mu’jam Lil Al_faz Al-Qur’an Al-Karim, Mesir: Matba’ah Dar al-Kutub, 1945
Minhajuddin, Ikhtilaf Ulama Sunni dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Fikih Islam Makassar: Alauddin University Press, 2012
Minhajuddin, Posisi Fiqh Muqaran dalam Penyelesaian Masalah Ihktilafiyyah,  Ujung Pandang: CV. Berkah Utami, 1997
Yanggo,  Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab,  Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999





[1] Minhajuddin, Ikhtilaf Ulama Sunni dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Fikih Islam (Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 16
[2] Muhammad Fuwad Abd al-Baqqy, Al-Mu’jam Lil Al_faz Al-Qur’an Al-Karim, (Mesir: Matba’ah Dar al-Kutub, 1945), h.240
[3] departemen
[4] Minhajuddin, Ikhtilaf Ulama Sunni dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Fikih Islam (Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 16
[5] Minhajuddin, Posisi Fiqh Muqaran dalam Penyelesaian Masalah Ihktilafiyyah, ( Ujung Pandang : CV. Berkah Utami, 1997),  h.23
[6] Minhajuddin, Ikhtilaf Ulama Sunni dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Fikih Islam (Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 22
[7] Ibid.27
[8] Ibid. 43
[9] Minhajuddin, Posisi Fiqh Muqaran dalam Penyelesaian Masalah Ihktilafiyyah, ( Ujung Pandang : CV. Berkah Utami, 1997),  h.26
[10] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,  (Bandung: Diponegoro, 2008), h.107
[11] Ibid.124
[12] Minhajuddin, Ikhtilaf Ulama Sunni dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Fikih Islam (Makassar: Alauddin University Press, 2012), h. 103
[13] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar