SEBAB-SEBAB PERBEDAAN
FUQAHA DALAM MENGISTINBATHKAN HUKUM
( IKHTILAF )
MAKALAH
Diajukan
untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Masailul Fiqhiyyah Al Haditsah
Oleh :
(
KELOMPOK 2 )
MUSTANG.H
RISKA
PURNAMASARI
HARIANTO
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA SLAM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2015
KATA
PENGANTAR
Alhamdulillahi Rabbil’ Alamin
penulis panjatkan kehadirat Allah swt. Rab yang Maha pengasih lagi Maha
penyayang atas segala limpahan Rahmat dan Petunjuk-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “ Sebab-Sebab Perbedaan Fuqaha dalam
Mengistinbatkan Hukum ”. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada
rasullullah Muhammad saw.
Makalah ini berisi tentang latar belakang timbulnya suatu
perbedaaan pendapat antara ulam fiqih. Semoga makalah ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan para pembaca. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini
tidak luput dari berbagai kekurangan. Maka dari itu penulis
mengharap kritikan dan saran demi kesempurnaan tulisan berikutnya.
Akhir
kata, penulis ucapkan terima kasih
kepada seluruh pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini.
Semoga Allah Swt. Membalas dengan pahala yang berlipat.Aamiin.
Makassar, April 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah............................................................................... 1
B.
Rumusan
Masalah........................................................................................ 2
C.
Tujuan ......................................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN........................................................................................
A.
Pengertian Ikhtilaf................................................................................. ....... 3
B.
Ikhtilaf dalam Lintasan Sejarah
................................................................... 4
1.
Ikhtilaf di Masa Nabi
SAW ................................................................... 4
2.
Ikhtilaf di Masa
Sahabat ........................................................................ 4
3.
Ikhtilaf di Masa
Tabi’in .......................................................................... 5
4.
Ikhtilaf di Masa Ahl
Hadits dan Ahl Ra’yi ........................................... 5
C.
Sebab-Sebab Terjadinya
Ikhtilaf .................................................................. 5
BAB
III PENUTUP
A.
Simpulan...................................................................................................... 9
B.
Saran-saran................................................................................................... 9
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Wafatnya
Rasulullah SAW menandai berakhirnya pembentukan syari’at Islam. Para sahabat
sebagai perpanjangan tangan Nabi dalam melestarikan dan mengembangkan Islam
dihadapkan pada persoalan sosial yang sangat kompleks. Namun kepergian beliau
tidak berarti berakhirnya pembentukan hukum Islam. Rasulullah SAW telah
meninggalkan warisan yang sangat berharga untuk dipedomani oleh umatnya, yaitu
Al-Qur’an dan Al-Sunnah.
Sehubungan
persoalan umat semakin berkembang dan tidak mungkin semuanya terakomodasi dalam al-Qur’an dan sunnah, maka jauh-jauh
hari Rasulullah telah memberikan contoh melalui pembicaraannya dengan Mu’az bin
Jabal, bahwa penyelesaian persoalan umat itu berpedoman kepada al-Qur’an atau
sunnah, kalau tidak ditemukan solusinya maka diselesaikan melalui ijtihad yang
tentu saja tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber utama tersebut.
Dengan
berpedoman kepada pesan ini, para sahabat dan tabi’in kemudian berijtihad
disaat mereka tidak menemukan dalil dari al-Qur’an atau sunnah yang secara
tegas mengatur suatu persoalan. Ijtihad para sahabat dan tabi’in inilah
kemudian yang melahirkan fiqih. Perbedaan
kuantitas hadits oleh kalangan tabi’in, ditambah pula perbedaan mereka dalam
menetapkan standar kualitas hadits serta situasi dan kondisi daerah yang berbeda
menyebabkan terjadinya perbedaan dalam hasil ijtihad mereka. Selain itu
perbedaan hasil ijtihad juga ditunjang oleh kadar penggunaan nalar (rasio),
yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya beberapa mazhab dalam fiqih.
Perbedaan
adalah sebuah sunnatullah kehidupan. Setiap orang melihat suatu masalah dari
sudut pandang, lalu memberikan kesimpulan sesuai dengan sudut pandang dan hasil
pemikirannya. Hal yang sama juga terjadi dalam upaya menafsirkan al-Qur’an.
Telah menjadi sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa ikhtilaf atau
perbedaan pandangan dalam menafsirkan ayat-ayat Allah juga terjadi sejak
dahulu.
Dalam
memahami ajaran agama, sudah tentu tidak akan lepas dari persoalan bagaimana
seseorang memahaminya dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Demikian halnya
fiqih yang memiliki karakter peluang
memiliki perbedaan dimana seorang ulama akan memiliki pemahaman sesuai
dengan apa yang difahaminya dan dia akan menyimpulkan dengan kesimpulan mereka
menyimpulkan hukum sesuai dengan kriterianya masing-masing. Inilah yang yang
sesuai dengan standar ketetapan yang diakuinya pula. Ini semua terjadi pada
para imam madzhab, dimana membuat kesimpulan hukum mereka yang berbeda-beda.
B. Rumusan
Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan ikhtilaf ?
2. Bagaimana sejarah adanya ikhtilaf ?
3. Apa penyebab timbulnya ikhtilaf di kalangan fuqaha?
C. Tujuan
1. Untuk memahami pengertian ikhtilaf
2. Untuk mengetahui sejarah munculnya
ikhtilaf
3. Untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya
ikhtilaf di kalangan fuqaha
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Ikhtilaf
Ikhtilaf ( اختلاف ) menurut bahasa ialah perbedaan pendapat,
pemikiran, perbedaan warna, jenis, yang berkonotasi pada perubahan.[1]
Al-Qur’an menyebutkan kata ikhtilaf dalam sebelas ayat[2].diantaranya
:
QS. An-Nahl ayat 46 :
!$tBur
$uZø9tRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$#
wÎ) tûÎiüt7çFÏ9
ÞOçlm; Ï%©!$#
(#qàÿn=tG÷z$#
ÏmÏù
Yèdur
ZpuH÷quur 5Qöqs)Ïj9
cqãZÏB÷sã
ÇÏÍÈ
Terjemahnya:
Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan
agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan
menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.(QS. An-Nahl:46) [3]
Sedang menurut istilah ialah perbedaan para ulama, khususnya
ahli fikih tentang suatu masalah furu’ yang
tidak memunyai dalil yang qath’iy.[4]
Bertentangan pada umumnya adalah berarti berlawanan.
Pertentangan demikian dilarang dalam agama islam. Tetapi perbedaan pendapat
karena titik tujuan yang sama adalah rahmat. Misalnya sejumlah orang berangkat
dari suatu tempat ke tempat lain. Sebagiannya berangkat dengan mobil, sebagian
lagi dengan kapal laut, sebagian lagi dengan sepeda motor. Inilah yang dimaksud
dengan ungkapan ‘Umar ibn ‘Abdul Aziz:
ان اختلاف رحمة.
Terjemahnya:
Sesungguhnya perbedaan pendapat itu adalah rahmat.[5]
B. Ikhtilaf
dalam Lintasan Sejarah
Tradisi
ikhtilaf sudah dikenal dalam sejarah perkembangan hukum islam sudah cukup lama
dikenal. Sudah ada pada masa Rasulullah, yakni ketika para sahabat mulai
menggunakan ra’yu dalam memahami nash
dan petunjuk-petunjuk Rasul. Hal itu berlanjut pada periode sahabat, tabi’in
bahkan mnculnya ikhtilaf di kalangan ulama-fuqaha periode tabi’tabi’in telah
secara sunguh-sungguh membentuk karakteristik dan format mazhab-mazhab fikih
yang kita kenal hingga sekarang .[6]
Dalam
lintas sejarah, ikhtilaf dimulai sejak zaman Rasulullah, sahabat, tabi’in dan
tabi’ tabi’in.[7]
Uraiannya sebagai berikut:
1. Ikhtilaf Sahabat di Masa Nabi SAW.
Ketika
Rasulullah SAW. Berwudhu, para sahabat menyaksikan cara Nabi SAW. Berwudhu dan
kemudian berwudhu sesuai dengan yang mereka saksikan. Tanpa menerangkan mana
yang wajib dan mana yang sunnah. Demikian pula dengan shalat haji dan
sebagainya. Rasulullah tidak pernah menerangkan bahwa rukun wudhu itu ada enam
atau empat, atau menjelaskan bahwa berwudhu harus dilaksanakan berurutan, sehingga
wudhu dikatakan sah atau tidak. Sementara itu, para sahabat juga kurang
bertanya tentang masalah-masalah demikian.kalaupun ada yang bertanya, maka
ketika itu pula Rasulullah langsung memberikan fatwa.
2. Ikhtilaf di Masa Sahabat Nabi SAW.
Sejak
masa-masa yang awal, bahkan belum lagi mereka selesai menguburkan Rasulullah,
telah timbul ikhtilaf atau perbedaan pendapat di kalangan sahabat. Ikhtilaf
pertama terjadi menyangkut masalah siapa yang paling berhak memegang tampuk
pimpinan kaum muslimin. Kubu Anshar memandang bahwa mereka paling berhak untuk
menempati posisi khalifah, karena merekalah yang paling berjasa menolong Nabi
SAW. Kubu muhajirin berpendapat bahwa merekalah yang paling berhak karena
mereka adalah kerabat Rasulullah SAW.
3. Ikhtilaf di Masa Tabi’in
Akibat
perbedaan di kalangan sahabat, muncullah beberapa aliran. Generasi tabi’in
memanfaatkan pendapata para sahabat itu sebagai rujukan dalam menetapkan hukum,
disamping Al-Qur’an dan Hadits. Perbedaan-perbedaan di kalangan sahabat itu
dibandingkan, ditarjih, dan diambil yang lebih mudah dan lebih benar. Karena
jumlah ulam atabi’in juga banyak, di kalangan mereka pun kemudian muncul
perbedaan-perbedaan sehingga setiap ulama besar tabi’in melahirkan madzhabnya
sendiri dan di setiap negeri terdapat tabi’in sendiri.
4. Ikhtilaf Ahlul Hadits dan Ahlurra’yi
Dua
golongan yang berbeda dari kalangan jumhur ulama dalam menetapkan hukum, adalah
ahl al-hadits dan ahl ar-ra’yi. Ahl al-hadits berorientasi kepada nash (
Al-Qur’an dan Hadits ) serta asar dalam menetapkan hukum.
Pembagian
ke dalam dua golongan ini berakar pada masa sahabat. Di masa itu sumber fikih
secara urut adalah Al-Qur’an, sunnag Rasululah dan ra’yu. Ra;yu dapat dijadikan
dasar jika suatu masalah tidak terdapat dalam dua sumber sebelumnya. Golongan
pertama kurang kurang menggunakan Ra’yu karena khawatir keliru dalam berijtihad
tentang agama. Golongan ini adalah Abdullah Ibn Umar (w.73 H) yang banyak
mengikuti Rasul. Ibnu Umar berpengetahuan luas tentang hadits. Selama enam
puluh tahun setelah Rasululah wafat, ia aktif memberi fatwa kepada kaum
muslimin, khususnya pada musim ibadah haji.
Adapun
sahabat yang terkemuka dalam golongan kedua antara lain Umar bin Khattab dan
Ibnu Mas’ud. Sebagai contoh, Umar tidak memotong tangan pencuri pada musim
paceklik, padahal di dalam surah Al Maidah (5) ayat 38, orang yeng mencuri
dihukum potong tangan.[8]
C. Sebab-Sebab
Terjadinya Ikhtilaf
Abu Ishaq as-Syatibiy menyebutkan delapan sebab
terjadi perbedaan pendapat di antara para fuqaha, yakni:
1. Ada lafazh nash yang musytarak, memerlukan ta’wil.
2. Ada lafazh nash yang bermakna hakikat
dan majaziy
3. Ada dalil yang diperselisihkan
kesahihannya
4. Ada dalil yang umum dan khusus
5. Ada dalil yang riwayatnya diterima oleh
sebagian, dan ditolak oleh sebagian
6. Karena berbeda cara dalam ijtihad dan
qiyas
7. Ada yang menerima nasakh dan ada yang
menolaknya
8. Ada karena ta’arud,yaitu pertentangan
antara dua dalil.[9]
Dari
pendapat teresebut maka penyebab terjadinya perbedaan dalam istinbath hukum
dapat dikelompokkan kepada empat bagian, yaitu:
1. Perbedaan fuqaha dalam memahami lafadzh
Contohnya
lafadzh khinzir pada surah
al-Maidah ayat 3:
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ÍÌYÏø:$# ....
Terjemahnya:
Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, daging babi,..[10]
Sebagian ulama,
seperti golongan Hanafiyah mengatakan bahwa khinzir
yang dimaksud adalah umum. Mereka berpegang pada lahir lafadzh. Maka
haramlah babi darat dan babi laut. Tetapi sebagian ulama mengartikan dengan
babi darat saja dan menghalalkan babi laut, mengingat firman Allah dalam surah
al-Maidah ayat 96:
¨@Ïmé& öNä3s9 ßø|¹ Ìóst7ø9$# ¼çmãB$yèsÛur ....
Terjemahan:
Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut ….[11]
2.
Perbedaan fuqaha dalam menerima riwayat dari
Rasulullah SAW.
Pengetahuan para sahabat terhadap
hadits-hadits Nabi tidak sama. Adakalanya sahabat yang lain mendengar suatu
hadis yang tidak didengar oleh sahabat lain, kemudian mengamalkannya. Sedangkan
sahabat yang tidak mendengarkan hadis tersebut, beramal dengan hadis yang lain.
Hal ini disebabkan karena kadangkala Rasulullah SAW. Memutuskan suatu perkara
pada suatu pertemuan yang hanya di dengar oleh sahabat yang hadir pada waktu
itu, sedangkan hadits tersebut tidak sampai kepada mereka yang tidak hadir.
3.
Perbedaan fuqaha tentang ta’arudh al-adillah ( dalil
yang dianggap bertentangan )
Hal ta’arudh ini
paling banyak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama/fuqaha dalam
mengistinbatkan hukum. Berikut ini dikemukakan lima macam ta’arudh al-adillah.
a.
Ta’arudh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Contoh: surah An-Nahl ayat 8 dengan surah Al-Mu’minun ayat 79
@øsø:$#ur tA$tóÎ7ø9$#ur
uÏJysø9$#ur
$ydqç62÷tIÏ9 ZpuZÎur
4
ß,è=øsur $tB
w tbqßJn=÷ès?
ÇÑÈ
Dan (Dia Telah menciptakan) kuda, bagal dan keledai,
agar kamu menungganginya dan (menjadikannya) perhiasan. dan Allah menciptakan
apa yang kamu tidak mengetahuinya.
uqèdur Ï%©!$#
ö/ä.r&us Îû
ÇÚöF{$# Ïmøs9Î)ur tbrç|³øtéB
ÇÐÒÈ
Dan dialah yang menciptakan serta mengembang biakkan
kamu di bumi Ini dan kepada-Nyalah kamu akan dihimpunkan.
b.
Ta’arudh Al-Qur’an dengan As-Sunnah
* ¨bÎ) y7/u ÞOn=÷èt y7¯Rr& ãPqà)s?
4oT÷r& `ÏB
ÄÓs\è=èO È@ø©9$# ¼çmxÿóÁÏRur
¼çmsWè=èOur
×pxÿͬ!$sÛur z`ÏiB
tûïÏ%©!$#
y7yètB 4
ª!$#ur âÏds)ã
@ø©9$# u$pk¨]9$#ur 4
zOÎ=tæ br&
`©9
çnqÝÁøtéB
z>$tGsù
ö/ä3øn=tæ (
(#râätø%$$sù
$tB
u£us? z`ÏB Èb#uäöà)ø9$#
4
zNÎ=tæ br&
ãbqä3uy
Oä3ZÏB 4ÓyÌó£D
tbrãyz#uäur tbqç/ÎôØt
Îû
ÇÚöF{$# tbqäótGö6t
`ÏB
È@ôÒsù «!$#
tbrãyz#uäur tbqè=ÏG»s)ã Îû
È@Î6y
«!$# (
(#râätø%$$sù
$tB
u£us? çm÷ZÏB 4
(#qãKÏ%r&ur no4qn=¢Á9$#
(#qè?#uäur no4qx.¨9$#
(#qàÊÌø%r&ur
©!$# $·Êös%
$YZ|¡ym
4
$tBur
(#qãBÏds)è? /ä3Å¡àÿRL{ ô`ÏiB
9öyz çnrßÅgrB
yZÏã
«!$# uqèd #Zöyz
zNsàôãr&ur #\ô_r&
4
(#rãÏÿøótGó$#ur
©!$# (
¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî
7LìÏm§
ÇËÉÈ
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu
berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau
sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu.
dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu
sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, Maka dia
memberi keringanan kepadamu, Karena itu Bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al
Quran. dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan
orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan
orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka Bacalah apa yang
mudah (bagimu) dari Al Quran dan Dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan
berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja yang
kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah
sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. dan mohonlah
ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
Ayat di atas
tampak bertentangan dengan hadits Rasulullah sebagai berikut:
عن عبادة بن
الصامت ان رسول الله عليه وسلم قال : لا
صلاة لمن لم يقرء بفاتحة الكتاب . ( رواه البخارى و مسلم )
Dari ‘Ubadah bin
As shamit berkata bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw. Bersabda: tak ada shalat
bagi orang yang tidakm membaca Al-Fatihah.” ( HR. Bukhari dan Muslim )
c.
Ta’arudh antara as-sunnah dengan as-sunnah
d.
Ta’arudh antara as-sunnah dengan Qiyas
e.
Ta’arudh antara qiyas dengan qiyas
Adapun cara menyelesaikan dalil-dalil yang ta’arudh yakni dilakukan
dengan al-jam’u wa taufiq,jika tidak
bisa maka lakukan tarjih, jika tidak bisa maka dilakukan nasikh-mansukh dan
kalau tidak bisa maka tawaqquf.[12]
4.
Perbedaan fuqaha tentang kaidah-kaidah ushul dan sebagian sumber istinbat
Ulama berbeda pendapat dalam penetapan hukum fikih, disebabkan perbedaan
penggunaan dalil di luar Al-Qur’an dan Sunnah, seperti : amal ahli Madinah,
dijadikan dasar fikih oleh Imam Malik, tidak dijadikan dasar oleh imam yang
lainnya. Begitu pula perbedaan dalam penggunaan ijma’, qiyas, maslahat al-mursalah, istihsan, istishab, ‘Urf dan
sebagainya yang oleh sebagian ulama dijadikan dasar dan sebagian yang lain
tidak menjadikannya dasar dalam mnetapkan hukum, sekalipun sebenarnya perbedaan
itu hanyalah tingkatan penggunaan.[13]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dari pembahasan
makalah ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Ikhtilaf ialah perbedaan para ulama, khususnya ahli
fikih tentang suatu masalah furu’ yang
tidak memunyai dalil yang qath’iy.
2. Ikhtilaf dalam
sejarah sudah ada sejak zaman Rasulullah sampai tabi’tabiin dan generasi
seterusnya
3. Sebab terjadinya
perbedaan fuqaha dalam mengistinbatkan hukum, secara umum terdiri atas empat
faktor. Yaitu perbedaan tentang lafadzh, perbedaan periwayatan hadits,
perbedaan masalah ta’arudh adillah dan perbedaan dalam mengambil sumber hukum.
B. Saran
Semoga makalah ini dapat memotivasi pembaca untuk membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya
dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional. Karena tanpa pemaduan
itu semua, akan sangat sulit, apalagi jika itu masalah ikhtilaf atau
khilafiyah.Serta memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian
terhadap masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap
masalah-masalah kecil seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Karena tanpa
sikap dasar seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw
(berlebih-lebihan) dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap
masalah khilafiyah yang ada.
Daftar Pustaka
Al-Baqqy,
Muhammad Fuwad Abd, Al-Mu’jam Lil Al_faz
Al-Qur’an Al-Karim, Mesir: Matba’ah Dar al-Kutub, 1945
Minhajuddin,
Ikhtilaf Ulama Sunni dan Pengaruhnya
terhadap Perkembangan Fikih Islam Makassar: Alauddin University Press, 2012
Minhajuddin,
Posisi Fiqh Muqaran dalam Penyelesaian
Masalah Ihktilafiyyah, Ujung
Pandang: CV. Berkah Utami, 1997
Yanggo,
Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999
[1] Minhajuddin,
Ikhtilaf Ulama Sunni dan Pengaruhnya
terhadap Perkembangan Fikih Islam (Makassar: Alauddin University Press,
2012), h. 16
[2] Muhammad
Fuwad Abd al-Baqqy, Al-Mu’jam Lil Al_faz
Al-Qur’an Al-Karim, (Mesir: Matba’ah Dar al-Kutub, 1945), h.240
[3] departemen
[4] Minhajuddin,
Ikhtilaf Ulama Sunni dan Pengaruhnya
terhadap Perkembangan Fikih Islam (Makassar: Alauddin University Press,
2012), h. 16
[5] Minhajuddin,
Posisi Fiqh Muqaran dalam Penyelesaian
Masalah Ihktilafiyyah, ( Ujung Pandang : CV. Berkah Utami, 1997), h.23
[6] Minhajuddin,
Ikhtilaf Ulama Sunni dan Pengaruhnya
terhadap Perkembangan Fikih Islam (Makassar: Alauddin University Press,
2012), h. 22
[9] Minhajuddin,
Posisi Fiqh Muqaran dalam Penyelesaian
Masalah Ihktilafiyyah, ( Ujung Pandang : CV. Berkah Utami, 1997), h.26
[12] Minhajuddin,
Ikhtilaf Ulama Sunni dan Pengaruhnya
terhadap Perkembangan Fikih Islam (Makassar: Alauddin University Press,
2012), h. 103
[13] Huzaemah
Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan
Mazhab, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.62
Tidak ada komentar:
Posting Komentar