BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama islam masuk di Indonesia sekitar abad XIV.
Penyebaran agama Islam di Indonesia di lakukan oleh para mubaligh dari Negeri
India, dll. Mereka membawa Islam ke Indonesia melalui jalur
perdagangan. Awalnya Islam masuk melalui Aceh dan dengan bantuan tokoh kerajaan
di sana. Lambat laun, Islam mulai berkembang
di tanah Jawa. Namun, sambutan masyarakat tidak mudah menerima agama baru di
tempatnya. Mereka masih banyak yang memeluk agama lama yaitu Hindu, Budha
maupun menyembah selain Allah. Hal ini juga disebabkan oleh Raja di wilayah
Jawa masih banyak yang memeluk agama Hindu atau Budha
Ketika masa Walisongo melaksanakan tugasnya yaitu
memperkenalkan agama Islam pada masyarakat Jawa, pada saat itu adalah era
(kekacauan) melemahnya dominasi Hindu-Budha (Majapahit) dalam budaya
Nusantara untuk kemudian digantikan dengan kebudayaan Islam, dari awal
abad 15 hingga pertengahan abad 16. [1][1]
Islam masuk ke tanah Jawa melalui perkawinan maupun
perdagangan oleh para mubaligh dari India, dll. Mereka adalah yang terkenal
dengan sebutan walisongo atau Sembilan Wali yang tersebar di Pulau Jawa. Dalam
menyebarkan agama islam para Walisongo mendirikan masjid dan asrama untuk
santri-santri.[2][2] Para wali masuk dengan cara yang sangat santun dan perlahan
tapi pasti. Awalnya mereka menyampaikan ajaran Islam dengan pendekatan pada
para masyarakat. Kemudian mereka memasukkan nafas Islam selama sosialisasi
tersebut. Lambat laun masyarakat sekitar mulai memeluk agama Islam dengan
sendirinya. Karena agama Islam di ajarkan tanpa kekerasan melainkan melalui
cara perdamaian.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
pendidikan islam pada masa Walisongo?
2.
Bagaimana
riwayat hidup dan cara dakwah Maulana Malik Ibrahim?
3.
Bagaimana riwayat
hidup dan cara dakwah Sunan Ampel?
4.
Bagaimana
riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Bonang?
5.
Bagaimana
riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Giri?
6.
Bagaimana
riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Drajad?
7.
Bagaimana
riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Muria?
8.
Bagaimana
riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Kudus?
9.
Bagaimana
riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Kalijaga?
10. Bagaimana
riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Gunung Jati?
C. Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pendidikan islam pada masa Walisongo
2.
Untuk
mengetahui riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Maulana Malik Ibrahim.
3.
Untuk
mengetahui riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Ampel
4.
Untuk
mengetahui riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Bonang
5.
Untuk
mengetahui riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Giri
6.
Untuk
mengetahui riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Drajad
7.
Untuk
mengetahui riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Muria
8.
Untuk
mengetahui riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Kudus
9.
Untuk
mengetahui riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Kalijaga
10. Untuk
mengetahui riwayat hidup dan cara dakwah Sunan Gunung Jati
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan
Islam pada Masa Walisongo
Interelasi Islam dan kebudayaan jawa
di bidang pendidikan tidak luput dari perjuangan Walisongo dalam mengislamkan tanah jawa dan
perkembangan pendidikan pesantren di tanah Jawa. Secara historis, asal-usul
pesantren tidak dapat dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 14-16. Pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang unik di Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang,
khususnya di Jawa selama berabad-abad.
Pesantren adalah sebuah lembaga
pendidikan keagamaan di jawa, tempat anak-anak muda bisa belajar dan memperoleh
pengetahuan keagamaan yang tingkatnya lebih tinggi. Alasan pokok munculnya pesantren ini
adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional, karena disitulah anak-anak muda
akan mengkaji lebih dalam kitab-kitab klasik berbahasa arab yang
ditulis berabad-abad yang lalu.
Ada ahli sejarah yang menganggap bahwa pesantren adalah
lembaga pendidikan keagamaan yang merupakan kelanjutan dari lembaga pendidikan
pra-Islam, yang disebut mandala. Mandala telah ada sejak sebelum majapahit dan
berfungsi sebagai pusat pendidikan semacam sekolah dan keagamaan. Bangunan
mandala dibangun di tas tanah perdikan yang memperoleh kebebasan sangat luas
dari beban-beban penyerahan pajak, kerja rodi, dan campur tangan pihak kraton
serta pemilik tanah yang tidak berkaitan dengan keagamaan. Mandala adalah
tempat yang di anggap suci karena di situ tempat tinggal para pendeta atau par
pertapa yang memberikan kehidupan yang patut di contoh masyarakat sekitar
karena kesalehannya, dan laen-laen.
Pesantren dan mandala mempunyai persamaan-persamaan,
diantaranya:
1. Sama-sama memiliki lokasi jauh dari
keramaian di pelosok yang kosong dan berada pada tanah perdikan atau desa yang
telah memperoleh hak istimewa dari penguasa. Banyak pertapaan atau mandala di
bagian timur jawa di masa Hindu yang dihuni para resi yang menjalankan latihan
rohani sambil bertani. Persamaan itu ia contoh kan sebagaimana sunan kalijaga
yang sering bersemedi dan melakukan tirakat di pertapaan mantingan yang sepi,
yang hal itu juga dilakukan oleh para resi dalam tradisi pra-Islam.
2. Lembaga pendidikan keagamaan Hindu
Buddha mandala dan lembaga pendidikan keagamaan Islam pesantren sama-sama
memiliki tradisi ikatan guru murid. Guru adalah bapak bagi murid dan murid berbapak
kepad gurunya. Ikatran guru murid ini merupakan ciri yang umum dalam kehidupan
di mandala, yaitu murid yang jauh dari orang tuanya diserahkan pendidikannya
kepada guru sebagai pengganti orang tua di lembaga pendidikan pra Islam.
Hubungan guru murid juga menjadi ciri dalam pendidikan Islam, terutama karena
perkembangan lembaga tarekat-tarekat yang berada di pesantren.
3. Tradisi menjalin komunikasi
antardharma, yang juga dilakukan anatara pesantren dengan perjalanan rohani
atau lelana. Mengambil contoh perjalan hayam wuruk yang diiringi oleh rombongan
keraton untuk mengunjungi satu pertapaan ke pertapaan yang lain. Tapi ini
berbeda dengan pengembangan rohani dalam tradisi pesantren dengan tradisi agama
Hindu Budha. Pengembaraan rohani tersebut sangat berkaitan dengan perjalanan
ilmiah yang ingin dicapai dalam tradisi pesantren, yaitu untuk menambah ilmu.
Perjalanan ilmiah atau yang sebut rihlah ilmiah memunculkan santri [berarti
siswa atau murid sebuah pesantren] yang terus menerus ingin menambah ilmunya.
4. Metode pengajarannya yang disebut
halaqah [lingkaran]. Dalam halaqoh kiai biasanya duduk dekat tiang, sedangkan
para murid duduk di depannya membentuk lingkaran. Dalam halaqoh biasanya murid
yang lebih tinggi pengetahuannya akan duduk pada posisi yang lebih dekat dengan
kiai dari pada murid yang lainnya.
Pendekatan pendidikan yang digunakan Walisongo diantaranya
yaitu sebagai berikut:
1. Modeling
Yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa modeling mengikuti
seorang tokoh pemimpin merupakan bagian penting dalam filsafat jawa. Walisongo
yang menjadi kiblat kaum santri tentu berkiblat pada guru besar dan pemimpin
muslimin, Nabi Muhammad SAW.
2. Substansi Bukan Kulit Luar
Ajaran al-Qur’an dan hadits pada dasarnya berkisar dengan
hubungan tuhan dengan makhluk di bumi, dan tentang bagaimana agar makhluk
selamat lahir batin, dunia akhirat. Dengan demikian, tujuan Walisongo adalah
untuk menerangkan bagaimana menerapkan teori modalitas hubungan Allah dengan
hambanya agar mudah ditangkap. Maka, ajaran tauhid adalah salah satu materi
pokok yang disajikan sejak awal. Karena lebih mengutamakan pendekatan
substantif, maka jika terlihat pendekatan Walisongo sering menggunakan
elemen-elemen non Islam, sesungguhnya hal ini adalah alat untuk mencapai tujuan
yang tidak mengurangi subtansi dan signifikansi ajaran yang diberikan.
3. Pendidikan Islam yang Tidak
Diskriminatif
Bahwa pendidikan Islam Walisongo
ditujukan pada masa dapat dilihat pada rekayasa mereka terhadap pendirian
pesantren. Pendidikan yang merakyat ini justru dijadikan akibat dalam dunia
pendidikan pesantren dewasa ini. Pendekatan pendidikan Walisongo dewasa ini
telah berkembang dalam tradisi pesantren seperti kesalehan sebagai cara hidup
kaum santri, pemahaman, dan pengaripan terhadap budaya lokal, semua ini adalah
bagian dari warisan Walisongo.
4. Dengan pendekatan kasih sayang
Bagi Walisongo, mendidik merupakan
tugas dan panggilan agama. Mendidik murid sama halnya mendidik anak kandung
sendiri. Pesan mereka dalam konteks ini adalah “sayangi, hormati, dan jagalah
anak didik mu, hargai lah tingkah laku mereka sebagaimana engkau memperlakukan
anak turunan mu. Beri mereka makanan dan pakaian hingga mereka dapat
menjalankan syariat islam, dan memegang teguh ajaran agama tanpa keraguan. [3][3]
B.
Sunan Maulana
Malik Ibrahim
1.
Riwayat Hidup
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum
Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh
awal abad 14.[4][4]
Maulana Malik Ibrahim ia bersaudara dengan Maulana Ishak,
ulama terkenal di Samudra Pasai, dan Maulana Ishak sekaligus ayah dari Sunan
Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia.
Pasai merupakan tempat kediaman Maulana Malik Ibrahim, sang toko utama dan
pertama dari gerakan Wali Songo yang berperan dalam pengembangan Islam dan
melahirkan para Ulama di tanah Jawa. Mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana
Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia, sehingga di gelar Syekh Maghribi.
Beliau sendiri dibesarkan di Aceh dan menikah dengan puteri Aceh yang dikenal
sebagai Puteri Raja Champa, yang melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel). Maulana
Malik Ibrahim meninggal di Gresik tahun 1419 M, dan Makamnya yang terletak
dikampung Gapura di Gresik.[5][5]
2.
Cara Berdakwah
Syekh Maulana
Malik Ibrahim diperkirakan datang ke Gresik pada tahun 1404 M, beliau berdakwah
di Gresik hingga wafatnya yaitu pada tahun 1419 M. Pada masa itu kerajaan yang
berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan masih
beragama Hindu atau Budha. Sebagian rakyat Gresik sudah ada yang beragama Islam
tapi banyak pula yang beragama Hindu, atau bahkan tiddak beragama sama sekali.
Dalam berdakwah
Syekh Maulana Malik Ibrahim menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang
tepat berdasarkan ajaran Al-Qur’an.[6][6]
Maulana Malik
Ibrahim berhasil mencetak kader mubaligh selama 20 tahun. Wali-wali lainnya
adalah murid dari Maulana Malik Ibrahim yang digembleng dengan pendidikan
sistim pondok pesantren. Antara Malik Ibrahim dengan para wali yang lain atau
antara para wali itu sendiri selain diikat oleh hubungan pendidikan juga diikat
oleh hubungan kekeluargaan, yaitu dengan cara menjadi besan, menantu atau ipar.
Sistem seperti ini juga pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad.[7][7]
Beberapa pendapat menyatakan bahwa
kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni
desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa
Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota
Gresik. Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan
cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok sehari-hari dengan
harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk
mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang
untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan
permaisuri tersebut masih kerabat istrinya. Kakek Bantal juga mengajarkan
cara-cara baru bercocok tanam. Beliau merangkul masyarakat bawah -kasta yang
disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat
di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan
perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di
Leran.[8][8]
C.
Sunan Ampel
1.
Riwayat Hidup
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim.
Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal
dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi.
Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di
daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya
(kota Wonokromo sekarang)
Beberapa versi menyatakan bahwa
Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho,
sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang.
Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik.
Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa,
bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama
Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan putri
seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera
dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan
Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak
didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa
itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V
raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.[9][9]
Sunan Ampel mewarisi pondok pesantren
ayahnya yaitu Malik Ibrahim. Sunan Ampel diambil menantu oleh penguasa Tuban
bernama Ario Tejo. Disini dapat disimpulkan adanya hubungan yang mesra antara
ulama dengan umara. Hubungan itu dijalin dengan dakwah. Selain daripada itu
Ario Tejo membutuhkan bantuan R.Rahmat yang besar wibawanya yang dapat
mengamankan daerah Tuban, Gresik dan Surabaya. Sebagai daerah kunci kemakmuran
negara. Diantara murid Sunan Ampel ialah R.Fatah putera raja Majapahit
terakhir. Sunan Ampel ikut mensponsori dan mendesign berdirinya kerajaan islam
yang pertama di Demak.[10][10]
2.
Cara Berdakwah
Di Ampel Denta Raden rahmat berhasil
menjadikan daerah yang semula berair, berlumpur, dan berawa-rawa menjadi daerah
yang makur yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok
pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya.
Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra
pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di
antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut
kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.[11][11]
Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para
santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada
penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh
main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak
berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik,
dan tidak berzina”. [12][12]
3. Ajaran yang
Terkenal
Hasil didikan beliau yang terkenal
adalah falsafal Moh. Limo atau tidak mau melakukan lima hal tercela yaitu :
a.
Moh Main atau tidak mau berjudi
b. Moh Ngombe atau tidak mau
minum arak atau bermabuk-mabukan
c.
Moh Maling atau tidak mau
mencuri
d. Moh Madat atau tidak
menghisap candu, ganja dan lain-lain
e.
Moh Madon atau tidak mau
berzina/main perempuan yang bukan istrinya
Prabu Brawijaya sangat senang atas
hasil didikan Raden Rahmat. Raja menganggap agama Islam itu adalah ajaran budi
pekerti yang mulia, maka ketika Raden rahmat kemudian mengumumkan ajarannya
adalah agama Islam maka Prabu Brawijaya tidak jadi marah, hanya saja ketika dia
diajak untuk memeluk agama Islam ia tidak mau. Ia ingin menjadi Raja Budha yang
terakhir di Majapahit.
Raden rahmat diperbolehkan menyiarkan
agama Islam di Wilayah Surabaya bahkan diseluruh wilayah Majapahit, dengan
catatan bahwa rakyat tidak boleh dipaksa, Raden Rahmat pun memberi penjelasan
bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.[13][13]
D.
Sunan Bonang
1.
Riwayat Hidup
Menurut legenda tentang para wali di
Jawa, anggota dinasti raja Tuban sungguh banyak sumbanganya dalam penyebaran
agama Islam di Jawa Timur. Seorang adipati, yaitu adipati wilakta (mungkin yang
mendahuluhi pate vira, yang disebut Tomé Pires), memberikan seorang putrinya
sebagai istri kedua kepada Raden Rahmat dari Surabaya. Yang kelak terkenal
sebagai sunan katib Ngampel Denta. Dari perkawinan ini lahirlah wali yang
sangat luar biasa, dengan nama Sunan Wadad (yang hidup membujang) dari Bonang,
bermukim dan giat di banyak tempat di daerah-daerah pesisir sebelah timur.
Antara lain ia dikabarkkan menjadi penghulu di masjid suci Demak. Makamnya di
Tuban menjadi tempat ziarah.[14][14]
Sunan Bonang diperkirakan lahir pada tahun 1465 M, serta
meninggal dunia pada tahun 1525 M. Sunan Bonang atau Raden Maulana
Makdum Ibrahim, kemudian masyarakat Jawa lebih mengenal dengan sebutan Sunan
Bonang, ia adalah seorang putera dari Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati. Ada
yang mengatakan bahwa Dewi Condrowati itu adalah putra Prabu Kertabumi. Dengan
demikian Raden Makdum adalah salah seorang pangeran Majapahit.[15][15]
Sunan Bonang
menaruh perhatian yang besar pada bidang kebudayaan dan kesenian. Daerah
operasinya ialah antara Surabaya dan Rembang. Beliau mengarang lagu-lagu
gending Jawa yang berisi tentang Keislaman, antara lain tembang Mocopat.[16][16]
2.
Cara Berdakwah
Sunan Bonang mendapat pendidikan agamanya pada
ayahnya sendiri yaitu Sunan Ampel. Daerah tugas dakwah-Islamisasi semasa
hidupnya adalah terutama di wilayah Tuban dan sekitarnya (Jawa Timur), dan ia
dikenal seorang ulama semasa hidupnya yang gigih dan giat sekali menyebarkan
agama Islam. Sunan Bonang juga mendirikan pondok pesantren di daerah Tuban, di
pasantren ini pula ia mendidik serta menggembleng kader-kader muda Islam yang
kemudian merekalah yang akan ikut juga menyiarkan agama Islam ke seluruh tanah
Jawa. konon beliaulah yang menciptakan gending Dharma serta berusaha mengganti
nama-nama hari nahas (hari sial) menurut kepercayaan Hindu, serta Sunan Bonang
mengantikan juga nama-nama dewa Hindu dengan nama-nama malaikat dan nama
nabi-nabi.[17][17]
Sunan Bonang menyiarkan Islam di daerah
Tuban, Pati, Madura, dan Pulau Bawean. Daerah tempat beliau tinggal adalah
Bonang. Sunan Bonang sebagaimana para wali lainnya, membuat gending-gending
jawa untuk berdakwah. Beliau menciptakan tembang dan gending berisikan
ajaran-ajaran Islam, dan gending-gending itu sangat disenangi takyat.
Bila beliau membunyikan bonang,
masyarakat sekeliling yang mendengarnya tertarik dan datanglah mereka ke
masjid. Di depan masjid dibuat kolam, sehingga setiap pengunjung yang datang
sudah dengan sendirinya mereka membersihkan kakinya. Bila mereka berkumpul,
Sunan Bonang mengajar tembang. Tembang tersebut berisikan ajaran Islam sehingga
tanpa sengaja mereka telah diberi pelajaran agama Islam.[18][18]
Di masa hidupnya, beliau juga termasuk orang yang membantu
berdirinya kerajaan Islam Demak. serta ia ikut pula membantu mendirikan Masjid
Agung di kota Bintoro Demak. Raden Makdum Ibrahim san Raden Paku sewaktu masih
remaja meneruskan ajaran agama Islam hingga ke Negeri Seberang yaitu di Pasai.
Mereka belajar pada Syekh Awwalul Islam atau ayah kandung Raden Paku. Selain
itu, mereka juga belajar pada ulama besar yang banyak menetap di Pasai. Seperti
Ulama ahli tasawuf yang berasal dari Baghdad, Mesir, Arab dan Iran. Setelah
mereka belajar di Pasai, Raden Makdum diperintahkan Sunan ampel untuk berdakwah
di daerah Lasem, Rembang, Tuban dan daerah Sempadan Surabaya.
Sekembalinya dari Pasai, Sunan Bonang memasukkan pengaruh
Islam ke dalam kalangan bangsawan dari keraton Majapahit, serta mempergunakan
Demak sebagai tempat berkumpul bagi para murid-muridnya. Sunan Bonang juga
adalah yang memberikan pendidikan Islam kepada Raden Patah putera dari
Brawijaya V, dari kerajaan Majapahit, dan menyediakan Demak sebagai tempat
untuk mendirikan negara Islam. hal ini terlihat dari kepintaranya yang tampak berpolitis,
dan Sunan Bonangpun rupanya tercapai cita-citanya (impian) atas terbangunnya
kerajaan Islam di Demak.
Raden Makdum Ibrahim konon menciptakan gending Dharma serta
berusaha mengganti nama-nama hari nahas (hari sial) menurut kepercayaan Hindu,
serta Sunan Bonang mengantikan juga nama-nama dewa Hindu dengan nama-nama
malaikat dan nama nabi-nabi.[19][19]
Dalam berdakwah Raden Makdum Ibrahim menggunakan kesenian
rakyat untuk menarik simpati rakyat, yaitu berupa seperangkat gamelan yaitu
Bonang. Boning adalah sejenis kuningan yang ditonjolkan di bagian
tengahnya.bila tonjolan itu di pukul dengan kayu lunak maka timbullah suara
yang merdu.
4.
Ajaran
Adapun kitab yang dikirakan sebagai
sumber ajaran Sunan Bonang yaitu :
1. Ihya Ulumuddin
dari al-Ghazali
2. Tahmid dari Abu
Syakur bin Su’aib – as-Salami
3. Talkis
al-Minhad dari Nawawi
4. Quth al-Qulub
dari Abu Thalib al-Maki
5. Risallah al-Makiyyah fi Tharing al-Sad
al-Sufiyah dari al-Tamami
6. Al-Anthaki dari Dawud al-Anthaki
7. Hayatul Auliya dari Abu Nu’aim al-Isfahani
Juga tulisan dari Abu Yazid
al-Busthami, Ibnu Arabi Ibrahim al-Iraqi dan Syekh Abdul Qodir Jaelani. Ajaran
Sunan Bonang, baik berdasarkan naskah Dr. Gunning maupun Dr. Schrieke, memuat
tiga tiang dalam agama yakni usuluddin, fiqh dan tasawuf. Isi besarnya adalah
tauhid dan tasawuf yang diambil dari kitab di atas, terutama dari Ihya
Ulumuddin dan Tahmid.
Ajaran Sunan Bonang merupakan aliran
Ahlussunnah. Dijelaskan disana bahwa Tasawuf harus berdasarkan fiqh dan tauhid,
shalat, puasa, zakat, merupakan jalan yang tidak bisa ditingggalkan. Dalam
tauhid dijelaskan bahawa adanya bumi itu menunjukkan adanya Allah. Tuhan dalam
ajaran sunan Bonang adalah Tuhan yang bersifat sebagaimana dalam alqur’an.
Dalam hal fiqh diberikan nasihat agar
orang tidak melalaikan ketentuan yang telah diturunkan Allah lewat Rosul-Nya.
Manusia harus memperhatikan lima hukum syari’at dengan baik yakni wajib, sunah,
makruh, mubah, dan haram.[20][20]
5. Karya sastra Sunan Bonang
Sunan Bonang juga menciptakan karya
sastra yang di kenal dengan sebutan suluk. Suluk berasal dari bahasa Arab Salakattariiqa,
artinya menempuh jalan atau tariqah. Ilmunya sering disebut Ilmu Suluk. Ajaran
yang biasa disampaikan dengan tembang disebut Suluk.[21][21]
E.
Sunan Giri
1.
Riwayat Hidup
Menurut berita-berita Cina, Gresik didirikan sebagai kota
pelabuhan pada paruh abad XIV di sebidang tanah pantai yang terlantar. Penduduk
pertama adalah pelaut dan pedagang Cina. Pada abad XV perkampungan baru itu
menjadi makmur; pada 1411 seorang penguasa Cina disitu mengirim utusan yang
membawa surat-surat dan upeti ke Keraton Cina.[22][22]
Sunan Giri lahir di Blambangan (kini
Banyuwangi) pada 1442 M. Maulana Malik Ibrahim memiliki seorang saudara yang
terkenal sebagai ulama besar di Pasai, bernama Maulana Saiyid Ishaq. Maulana
Saiyid Ishaq inilah sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku).
Menurut cerita tutur Jawa, seorang
ahli agama berkebangsaan Arab berasal dari Jeddah, bernama Wali Lanang (Maulana
Saiyid Ishaq), telah memperistri seorang putri raja kafir Blambangan (yang
telah disembuhkannya dari suatu penyakit), ia mendapat seorang laki-laki dari
perkawinan itu. Wali Lanang meninggalkan Blambangan karena tidak berhasil
mengislamkan rajanya. Bayi itu dimasukkan ke dalam peti dan dilempar ke laut
dan kemudian diselamatkan oleh nahkoda perahu milik Nyai Gede Pinatih dari
Gresik, janda pati samboja.
Anak itu diambil sebagai anak
angkat, dan kemudian disuruh berguru ke Sunan Ngampel Denta, santri Bonang.
Mereka berdua pergi ke Malaka dan menjadi murid wali Lanang (ayah Raden Paku).
Wali Lanang memberi tugas mulia untuk menyebarkan agama islam di Jawa Timur.
Sekembalinya di Gresik, beberapa waktu kemudian Raden Paku menetap di Gunung (Giri)
sebagai Kiai Besar.[23][23] Maulana Saiyid Ishaq ayahnya kemudian pergi ke Pasai-Aceh
dan ia tidak kembali lagi ke tanah Jawa. Maulana Saiyid Ishaq akhirnya mengajar
di Pasai, Aceh.
2.
Cara Berdakwah
Sunan Giri mendapat pendidikannya
pada Raden Rahmat (Sunan Ampel). Dalam masa pendidikan itulah Raden Paku
bertemu dengan Maulana Makdum Ibrahim, putera-puteranya Sunan Ampel yang
bergelar Sunan Bonang. Suatu ketika, Sunan Ampel memerintahkan kepada Maulana
Makdum Ibrahim dan Raden Paku untuk pergi menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci.
Dalam perjalanan menuju ke tanah Suci itu, mereka singgah terlebih dahulu
di Pasai-Aceh untuk menuntut ilmu pada para ulama di tempat tersebut. Raden
Paku yang kemudian bergelar Syekh Ainul Yaqin. mengadakan tempat berkumpul di
pondok pesantrennya di Giri, itu sebabnya ia dijuluki Sunan Giri. Menurut
cerita, Maulana Saiyid Ishaq di Malaka memberikan tugas-tugas berbeda tetapi
senada kepada kedua muridnya: santri Bonang pada dasarnya harus menyebarkan
agama Islam di Jawa Timur, tetapi Raden Paku harus menetap di Giri.
Sunan Giri Setelah Ngelmu kepada Sunan Ampel mendirikan
pendidikan islam di Giri. Dengan semakin banyaknya lembaga pendidikan islam
pesantren didirikan agama islam semakin tersebar sehingga dapat dikatakan bahwa
lembaga-lembaga ini merupakan anak panah penyebaran islam di Jawa.[24][24] Ada yang beranggapan bahwa Raden Paku di karuniai Ilmu
laduni yaitu ilmu yang langsung berasal dari Tuhan. Sehingga kecerdasan otaknya
seolah tiada bandingnya.
Murid-murid Raden Paku terdiri pada orang-orang kecil
(rakyat jelata). Kontribusinya dalam hal bidang lain misalnya, ia adalah ulama
yang mengirim utusan (muridnya) ke beberapa wilayah ke luar Jawa.
murid-muridnya itu didelegasikan misalnya ke Bawean, Kagean, Ternate, Haruku kepulauan
Maluku, dan Madura. Amatlah besar kontribusinya itu jika kita melihat dari
kegiatan yang ia lakukan.
3. Suka Duka Sunan Giri
Menurut cerita tutur Jawa, Raja
Majapahit memerintahkan pembunuhan atas Sunan Giri. Namun, algojo yang dikirim bersedia
memeluk agama Islam. Malahan kemudian ia menjadi pengikut Ulama itu. Sejak
itulah ia memakai nama Mutalim Jagapati. Dalam dongeng-dongeng lain juga
terdapat pelaku yag bernama Jagapati, teman seperjuangan Sunan Giri melawan
kekuasaan kafir.
Menurut cerita lain, Raja Majapahit
bahkan mengirim Patih Gajah Mada dengan kekuatan militer untuk melawan Giri.
Serangan ini di gagalkan tidak lain dan tidak bukan hanya karena daya ajaib
keris kala munyeng (atau kalam munyeng) yang, meurut cerita, berasal dari alat
tulis (kalam) wali itu. Dalam legenda ini kiranya “kalam” (tenaga batin)
disejajarkan dengan kala munyeng, suatu kekuasaan adikodrati atau jin, yang
sudah disebut-sebut di pelbagai naskah dari zaman pra-islam. Yang menarik dalam
cerita ini adalah hubungan antara wali itu dan sebilah keris, yang telah ikut
bertempur melawan “alam kafir”.[25][25]
4. Jasa-jasa Sunan Giri
Jasanya yang terbesar tentu saja
perjuangannya menyebarkan ajaran islam di Tanah Jawa bahkan ke Nusantara.
Di bidang kesenian beliau berjasa
besar, karena beliaulah yang menciptakan Asmaradana dan Pucung. Beliau pula
yang menciptakan tembang dan tembang dolanan anak yang bernafaskan islam,
diantaranya: jamuran, Cublak-Cublak Suweng, Jithungan dan Delikan.
F.
Sunan Drajat
1.
Riwayat Hidup
Sunan Drajad atau Syarifuddin
lahir pada tahun 1470 M adalah seorang putera dari Sunan Ampel dan merupakan
adik dari Raden Makdum Ibrahim atau sunan Bonang. Nama Sunan Drajad ketika
kecil yaitu Raden Qosim, Sunan Drajat juga adalah ikut pula mendirikan kerajaan
Islam di Demak dan menjadi penyokongnya yang setia, daerah dakwahnya di Jawa
Timur dan ia terkenal seorang waliyullah yang berjiwa sosial. Dalam pengajaran
tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak
mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi
cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria.[26][26]
2.
Cara Berdakwah
Raden Qosim
adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri, yaitu menyebarkan
agama Islam dengan lurus dan benar sesuai dengan ajaran Nabi. Tidak boleh
dicampur dengan adat dan kepercayaan lama. Meskipun demikian beliau juga
menggunakan kesenian rakyat sebagai media dakwah. Karena di museum Sunan drajad
terdapat seperangkat bekas gamelan Jawa.
Raden Qosim adalah wali yang hidup
bersahaja, walaupun beliau juga rajin mencari rizeki. Hal itu disebabkan sikap
beliau yang sangat dermawan dan suka menolong rakyat jelata yang menderita.[27][27]
3.
Ajaran
Sunan Drajad yang terkenal
Ajaran Sunan drajad bersumber dari:
a.
Al-Qur’an
b.
Sunnah
c.
Ijma
d.
Qiyas
e.
Ajaran
guru dan pendidik seperti Sunan Ampel atau orang tuanya
Di bidang kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir,
beliau juga pertama kali yang menciptakan Gending pangkur. Hingga sekarang
gending tersebut masih di sukai rakyat jawa.[29][29]
G.
Sunan Muria
1. Riwayat Hidup
Sunan Muria dilahirkan
dengan nama Raden Umar Said atau Raden
Said. Menurut beberapa riwayat, dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang
menikah dengan Dewi
Soejinah, putri Sunan Ngudung. Nama Sunan Muria
sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria), yang terletak di
sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah, tempat dia
dimakamkan.[30][30]
2. Cara Berdakwah
Sunan Muria, dalam menyebarkan Islam di
Jawa, menggunakan pendekatan seperti yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga.
Tradisi yang ada bukan di hilangkan, melainkan diberi warna islam. Hal ini
terlihat antara lain dalam upacara selamatan yang dilaksanakan oleh orang Jawa
pada waktu itu tetap dipelihara.
Menurut Solichim Salam, sasaran dakwah beliau adalah para
pedagang, nelayan, pelaut, dan rakyat jelata. Beliaulah satu-satunya wali yang
tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk
menyampaikan islam. Beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.[31][31]
Dalam berdakwah Sunan Muria lebih suka
tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan
agama Islam. Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan
keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah
kesukaannya. Sunan Muria menyebarkan Islam pada daerah-daerah Jepara, Tayu,
Juana dan sekitar Kudus. Dalam berdakwah beliau menggunakan metode yang tidak melawan budaya yang ada, malah mewarnai budaya dengan ajaran
Islam.
Para wali telah mengubah beberapa lakon
pewayangan yang isinya membawa pesan Islam. Antara lain cerita Dewa Ruci, Jimat
Kalimasada, Petruk Dadi Ratu, dll. Dalam bidang politik, Sunan Muria
menyongkong kerajaan Demak yang pada saat Raden Patah wafat pada tahun 1518
terjadi konflik internal.[32][32]
H.
Sunan Kudus
1.
Riwayat
Hidup
Sunan
Kudus memiliki nama kecil Jaffar Shadiq. Dia
adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung (Sayyid
Utsman Haji) dengan Syarifah Dewi Rahil binti Sunan Bonang. Lahir pada 9
September 1400M/ 808 Hijriah. Bapaknya yaitu Sunan Ngudung adalah
putra Sultan di Palestina yang bernama Sayyid Fadhal Ali Murtazha (Raja
Pandita/Raden Santri) yang berhijrah fi sabilillah hingga ke Jawa dan sampailah
di Kekhilafahan Islam Demak dan diangkat menjadi Panglima Perang.[33][33]
Sunan
Kudus sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan
Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata,
bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
Sunan
Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai
daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Pada tahun 1550 M Sunan Kudus meninggal dunia saat
menjadi Imam sholat Subuh di Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian
dimakamkan di lingkungan Masjid Menara Kudus.[34][34]
2.
Cara
Berdakwah
a. Strategi Pendekatan dengan
Masyarakat
Sunan kudus termasuk mendukung sunan
kalijaga dan sunan bonong menerapkan strategi dakwah antara lain :
1) Membiarkan dulu adat istiadat dan
kepercayaan lama yang sukar dirubah.
2) Bagian adat yang tidak sesuai dengan
ajaran islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
3) Tut wuri handayani dan
menerapkan prinsip tut wuri hangiseni.
4) Menghindarkan konfrontasi, didalam
menyiarkan islam.
5) Pada akhirnya boleh merubah adat dan
kepercayaan masyarakat yang tridak sesuai dengan ajaran islam tetapi dengan
prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat islam.
b. Merangkul Masyarakat Hindu – Budha
Cara beliau
mendekati masyarakat Kudus yaitu dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu –
Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang
dan pancuran / padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah
wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu
waktu, Ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan
Tabliqh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama kebo
Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagumi sapi menjadi
simpatik. Apalagi setelah mereka mendengarkan penjelasan Sunan Kudus tentang
Surat Al-Baqarah yang berarti “Sapi Betina”. Sampai sekarang sebahagian
masayarakat tradisional Kudus, masih menolak menyembalih sapi.
c. Selamatan Mitoni
Dalam cerita tutur disebutkan bahwa
sunan kudus ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat
istiadat lama. Seperti mitoni pada saat tiga bulan. Sembari minta
kepada Dewa bahwa bila anakmya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anaknya
perempuan seperti Dewi Ratih cantiknya.
Adat istiadat tersebut tidak
ditentang secara keras oleh Sunan kudus. Melainkan diarahkan ke bentuk islami.
Acara selamatan tetap ada tetapi niatnya bukan kirim sesaji kepara para dewa , melainkan bersedekah
kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang.
Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan lahir laki-laki
seperti Nabi Yusuf tampannya. Dan bila perempuan seperti Siti Mariam cantiknya.
Untuk itu sang ayah dan ibu harus sering-sering membaca surat Yusuf dan
Mariam. Sebelum acara dimulai diadakanlah pembacaan laying anbiya. Biasanysa yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf.[35][35]
I.
Sunan Kalijaga
1. Riwayat Hidup
Nama asli Sunan kalijaga adalah Raden Said. Beliau
memiliki saudara perempuan bernama Dewi Rasawulan. Ayahnya adalah adipati Tuban
yaitu Tumenggung Wilatikta yang sering disebut Raden Sahur, jadi beliau
termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri
sudah masuk agama islam. [36][36]
Sejak kecil Raden Said sudah dikenalkan dengan agama islam
oleh guru agama kadipaten tuban. Beliau memiliki suara yang sangat merdu.
Setiap malam selalu membaca Ayat Suci Al-Qur’an di kamarnya, tetapi karena
melihat keadaan lingkungan sekitarnya yang kontradiksi dengan
kehidupan rakyat jelata diluar sana, maka jiwa muda Raden Said berontak. Beliau
tidak tega melihat kesengsaraan yang dialami oleh rakyat jelata akibat
kemiskinan namun tetap ada penarikan pajak yang dilakukan oleh oknum pejabat
Kadipaten Tuban.
Raden Said berniat untuk membantu mengurangi penderitaan
rakyat jelata. Awalnya beliau menyampaikan niatan itu kepada Ayahandanya,
karena tidak ada tindakan yang membantu, maka beliau memutuskan untuk bertindak
dengan caranya sendiri, yaitu dengan mengambil sebagian hasil bumi yang akan
disetorkan ke Majapahit lalu dibagikan kepada rakyat Tuban yang membutuhkan.
Hingga pada khirnya tindakan Raden Said diketahui oleh penjaga gudang. Akibat
perbuatannya beliau dihukum dengan 200 cambukan di tangan dan disekap beberapa
hari.
Setelah lepas dari hukuman, Raden Said keluar dari
lingkungan istana. Beliau meneruskan perjuangannya dengan menjadi perampok
bertopeng yang mengambil harta orang-orang kaya yang rakus lalu membagikannya
pada rakyat miskin. Hingga akhirnya Raden said bertemu dengan Sunan Bonang dan
berguru padanya. Ketika wafat, beliau dimakamkan
di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara).[37][37]
2. Cara Berdakwah
Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya
sebagai Adipati Tuban. Beliau memilih kembali mengembara untuk melanjutkan
dakwah dan penyebaran agama Islam di Jawa Tengah hingga ke Jawa Barat. Beliau
sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat diterima dan dianggap
sebagai Guru Suci se Tanah Jawa, mulai dari golongan petani hingga bangsawan
dan Raja-raja dapat menerima ajaran Sunan Kalijaga yang berciri khas Jawa namun
tetap islami.[38][38]
Dalam berdakwah Sunan Kalijaga dikenal
sebagai :[39][39]
a. Muballigh
Caranya
berdakwah sangat luwes, rakyat jawa yang saat itu banyak menganut kepercayaan
lama tidak ditentang adat istiadatnya, beliau mendekati rakyat itu dengan cara
halus, bahkan dalam berpakaian beliau tidak memakai jubah melainkan memakai
pakaian adat jawa yang disalin dan disempurnakan sendiri secara islami sehingga
rakyat tidak merasa angker dan mau menerimanya dengan senang hati. Cara
berdakwah tersebut sangat efektif, sebagian besar adipati di Jawa memeluk agama
islam melalui Sunan Kalijaga. Diantaranya adipati Padanaran, Kartasura,
Kabumen, Banyumas, serta
Pajang ( sekarang Kotagede - Yogya).
b. Ahli Budayawan
Gelar tersebut tidak berlebihan
karena beliaulah yang pertama kali menciptakan seni pakaian, seni suara, seni
ukir, seni gamelan, wayang kulit, beduk di masjid, grebek maulud, seni tata
kota, dan lain-lain.
J.
Sunan Gunung
Jati
1. Riwayat Hidup
Banyak
kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya
adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj,
lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi
Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).[40][40]
Semua
itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun
1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah
Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar
Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.[41][41]
Syarif
Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir.
Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro
Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon
yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan
demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin
pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja
Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan
atau Priangan.
Dalam
berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga
mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang
menghubungkan antar wilayah.
Bersama
putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke
Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah
Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada
usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni
dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568
M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia
dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum
kota Cirebon dari arah barat.[42][42]
2. Cara Berdakwah
Syarif Hidayatullah mendalami ilmu
agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke
berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu
kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai
Kasultanan Pakungwati.
Dengan demikian, Sunan Gunung Jati
adalah satu-satunya "wali songo" yang memimpin pemerintahan. Sunan
Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk
menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.
Dalam berdakwah, ia menganut
kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan
membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.
Bersama putranya, Maulana
Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa
setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut
yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung
Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu
diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati
wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah
Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari
arah barat.[43][43]
BAB III
Penutup
Kesimpulan
Pendidikan Islam
pada abad ke 15-16 diselenggarakan oleh Wali Songo yang terdiri dari Sunan
Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat,
Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati. Pada awalnya
pedidikan islam yang diberikan kepada masyarakat jawa melalui dakwah-dakwah itu
dilaksanaksanakan di tempat yang disebut pesantren atau mandala.
Pesantren
adalah sebuah lembaga pendidikan keagamaan di jawa, tempat anak-anak muda bisa
belajar dan memperoleh pengetahuan keagamaan yang tingkatnya lebih tinggi. Alasan pokok munculnya pesantren ini
adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional, karena disitulah anak-anak muda
akan mengkaji lebih dalam kitab-kitab klasik berbahasa arab yang ditulis
berabad-abad yang lalu.
Walisongo melakukan dakwahnya dengan
cara masuk ke dalam budaya masyarakat jawa yang pada saat itu masih memeluk
agama hindu-budha. Mereka lebih memilih langkah halus agar mudah diterima oleh
masyarakat. Metode yang dilakukan yaitu dengan memasukkan nilai-nilai islam ke
dalam kesenian yang digemari oleh masyarakat atau langsung bersinggungan dengan
kegiatan keseharian masyarakat seperti bertani.
Ilmu yang diajarkan oleh para wali
bukan hanya bersifat keagamaan, mereka juga mengajarkan tentang ilmu hitung,
pertanian, perkebunan, kesehatan, dan kenegaraan. Namun ajaran paling inti yang
ingin mereka salurkan adalah masalah Tauhid.
DAFTAR PUSTAKA
Asrohah, 1999. Hanun. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu
Rahimsyah. 2011. Kisah Perjuangan Walisongo.
Surabaya : Dua Media
De Graaf & Pigeaud. 1985. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti
Mulyati, Sri. 2006. Tasawuf
Nusantara. Jakarta : Prenada Media Group
Djamal, Murni. 1985. Sejarah
Pendidikan Islam. Jakarta
http://waromuhammad.blogspot.com/2012/03/sejarah-pendidikan-di-jawa.html
(03 Mei 2013)
http://khalifahalhidayah.blogspot.com/2012/01/walisongo-penyebar-islam-di-nusantara.html#axzz2SExcVais (03 Mei 2013)
http://nofalliata.wordpress.com/agama-islam-dan-sekte-sektenya/islam-aceh-dan-walisongo-2/ (03 Mei 2013)
http://id.wikipedia.org/wikipedia.co.id
(12 Mei 2013)
http://contohrpp.wordpress.com/tag/sunan-muria-atau-raden-umar-said-atau-raden-said/
(09 Mei 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar