MASAILUL
FIQHIYYAH
TRANSPLANTASI
ANGGOTA TUBUH
Kelompok
10 :
Muh. Mukhtar S
A.NUR IRFAH KHUMAIRA
ASBAR
DENI RAMDHANI
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 1 2
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2015
KATA PENGATAR
Segala puji bagi Allah Subhanawata’ala Tuhan sesmesta alam. Salawat serta salam semoga
dilimpahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Kami
bersyukur kepada Ilahi Rabi yang telah memberikan hidayah serta taufik-Nya kepada kami.
Hanya dengan pertolongan –Nya
dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah “Transplantasi Anggota Tubuh”. Dengan harapan dapat
berguna oleh Jurusan di Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan khususnya jurusan Pendidikan Agama Islam sebagai bahan
untuk diskusi.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu kami harap pembaca yang budiman
dapat memberikan kritik dan masukan yang bermanfaat yang bersifat membangun
demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya,karena kami menyadari bahwa tidak
ada yang sempurna di dunia ini kecuali Dzat yang maha sempurna.
Merupakan suatu harapan pula, semoga
makalah ini tercatat sebagai amal saleh
dan menjadi motivasi bagi diri kami untuk menyusun makalah yang lebih baik lagi
Aamiin.
Penyusun
Kelompok 10
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Berbagai
ragam permasalahan yang muncul ditengah-tengah masyarakat, baik yang menyangkut
masalah ibadah, aqidah, ekonomi, sosial, sandang, pangan, kesehatan dan
sebagainya, seringkali meminta jawaban kepastiannya dari sudut hukum. Dalam
kondisi yang demikian, maka berkembanglah salah satu disiplin ilmu yang
dinamakan Masail Fiqhiyyah. Berbagai masalah yang dibicarakan dalam ilmu
ini biasanya amat menarik, unik dan sekaligus problematik.
Hal
ini terjadi karena untuk menjawab berbagai masalah tersebut telah bermunculan
beragam jawaban yang disebabkan karena latar belakang pendekatan dan sistem
pemecahan yang berbeda-beda sehingga mempengaruhi dalam pengambilan keputusan
hukum.
Studi
yang menyangkut berbagai masalah fiqhiyyah tersebut terus berkembang seiring
dengan perkembangan masyarakat sebagai akibat dari kemajuan dalam bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi. Banyak hal yang dahulu tidak ada kini bermunculan
yang selanjutnya menuntut jawaban dari segi hukum.
Begitu
dekatnya masalah hukum ini dengan kehidupan umat Islam, menyebabkan bidang
kajian masalah ini sudah demikian akrab dengan masyarakat dibandingkan dengan
studi lainnya seperti tafsir, hadits, ilmu kalam dan sebagainya. Fiqhlah yang
paling banyak dikenal dan amat populer di masyarakat Indonesia.
Kajian
terhadap masalah ini sudah demikian lama dan telah melembaga di masyarakat
Islam. Kajian terhadap pertumbuhan ilmu fiqh,
ushul fiqh dan qawa’id fiqhiyyah
sudah amat berkembang. Hal yang demikian terjadi karena adanya perubahan sosial
yang berpengaruh terhadap perubahan hukum. Seiring dengan itu, kajian pemikiran
hukum Islam dari sudut teologi juga banyak dilakukan para ahli dengan berbagai
pendekatan yang digunakan.
Dalam
menghadapi perkembangan masyarakat yang semakin modern, telah muncul berbagai
permasalahan seputar transplantasi organ tubuh, mulai dari trannplantasi yang
dilakukan pada saat masih sehat, pada saat dalam keadaan koma, serta
transplantasi yang dilakukan dalam keadaan meninggal, yang mana mau tidak mau
akan mendorong para pakar hukum untuk mencarikan pemecahannya secara
komprehensif dan utuh. Dalam tulisan ini akan menguraikan permasalahan yang
disebutkan di atas.
B.
Rumusan masalah
Pada
uraian di atas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana hukum transplantasi organ tubuh dalam keadaan
sehat?
2.
Bagaiman pandangan ulama transplantasi dalam keadaan koma?
3.
Bagaimana pandangan ulama transplantasi dalam keadaan
meninggal?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Transplantasi Organ Tubuh
Pengertian
transplantasi (pencangkokan) ialah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya
hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak
berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa,
harapan penderita untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi.
Dalam
pelaksanaan transplantasi organ tubuh ada tiga pihak yang terkait dengannya :
Pertama, Donor, yaitu orang yang menyumbangkan organ tubuhnya yang
masih sehat untuk dipasangkan pada orang lain yang organ tubuhnya menderita sakit
atau terjadi kelainan.
Kedua, Resipien, yaitu orang yang menerima organ tubuh dari donor
yang karena satu dan lain hal, organ tubuhnya harus diganti.
Ketiga, Tim ahli, yaitu para dokter yang menangani operasi
transplantasi dari pihak donor kepada resipien.
Berkenaan
dengan donor, transplantasi dapat dikategorikan ke dalam tiga tipe, yaitu
:
1.
Donor dalam keadaan hidup sehat.
Dalam tipe ini perlu adanya seleksi yang cermat dan harus dilakukan general
check up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap menyeluruh), baik terhadap
donor maupun terhadap resipien (penerima), demi menghindari kegagalan
transplantasi yang disebabkan penolakan tubuh resipien dan sekaligus
menghindari dan mencegah resiko bagi donor. Sebab menurut data statistik, 1
dari 1000 donor meninggal, dan si donor juga merasa was-was dan merasa tidak
aman, karena dia menyadari, misalnya bila dia donor ginjal, dia tak akan
memperoleh kembali ginjalnya seperti sedia kala.
2. Donor dalam keadaan koma. Apabila
donor dalam keadaan koma atau diduga kuat akan meninggal segera, maka dalam
pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat kontrol dan penunjang kehidupan,
misalnya dengan bantuan alat pernafasan khusus. Kemudian alat-alat penunjang
kehidupan tersebut dicabut setelah selesai proses pengambilan organ tubuhnya.[1]
Hanya, kriteria meninggal secara medis/klinis dan yuridis perlu ditentukan
dengan tegas dan tuntas, apakah kriteria itu ditandai dengan berhentinya denyut
jantung dan pernafasan[2]
atau ditandai dengan berhentinya fungsi otak.[3]
3. Donor dalam keadaan meninggal. Dalam tipe ini, organ tubuh
yang akan dicangkokkan diambil ketika donor telah meninggal berdasarkan
ketentuan medis dan yuridis, juga harus diperhatikan daya tahan organ yang akan
diambil untuk transplantasi[4]apakah
masih ada kemungkinan untuk bisa berfungsi bagi resipien atau apakah sel-sel
jaringannya telah mati, sehingga tidak berguna lagi bagi resipien.
Berdasarkan
uraian diatas, maka muncul suatu pertanyaan: “Bagaimanakah pandangan hukum
Islam tentang transplantasi organ tubuh, baik donor dalam keadaan sehat, dalam
keadaan koma, maupun dalam keadaan meninggal?”. Inilah yang menjadi pokok
masalah dalam tulisan ini, yang mana dalam pembahasannya berpedoman pada hukum Islam
(Quran dan Hadits) secara eksplisit, serta mengaitkan hal tersebut pada qaidah
fiqhiyyah yang benar.
B. Hukum Transplantasi Organ Tubuh
1. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Sehat
Apabila
transplantasi organ tubuh diambil dari orang yang masih dalam keadaan hidup
sehat, maka hukumnya ‘Haram’, namun
menurut DR. Yusuf Qardawi bahwa keharaman hal tersebut bersifat muqayyad (bersyarat). Hal ini sesuai
dengan Qaidah al-Fiqhiyyah yang berbunyi:
الضَّرَرُ لاَ
يُزَالُ بِالضَّرَرِ
Bahwa
dari kaidah di atas bahwa kemudaratan tidak dapat dihilangkan dengan
mendatangkan kemudaratan baru. Para ulama usul
fiqh memberikan penafsiran terhadap kaidah di atas bahwa kemudaratann itu
tidak boleh dihilangkan dengan mendatangkan kemudaratan yang serupa atau bahkan
lebih besar lagi mudarat yang ditimbulkan. Hal ini, sejalan dengan firman Allah
swt., di bawah ini:
a.
Firman
Allah QS. Al Baqarah/2: 195 :
وَلاَ تُلْقُوْا
بِأَيْدِيْكُمْ إَلىَ التَّهْلُكَةِ
Terjemahannya:
“Dan janganlah kamu jatuhkan (dirimu
sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri”.(QS.
Al-Baqarah/2: 195)[5]
Ayat
tersebut mengingatkan manusia, agar jangan gegabah dan ceroboh dalam melakukan
sesuatu, namun tetap menimbang akibatnya yang kemungkinan bisa berakibat fatal
bagi diri donor, walaupun perbuatan itu mempunyai tujuan kemanusiaan yang baik
dan luhur. Umpamanya seseorang menyumbangkan sebuah ginjalnya atau matanya pada
orang lain yang memerlukannya karena hubungan keluarga, teman atau karena
berharap adanya imbalan dari orang yang memerlukan dengan alasan krisis
ekonomi. Dalam masalah yang terakhir ini, yaitu donor organ tubuh yang
mengharap imbalan atau menjualnya, haram hukumnya, disebabkan karena organ
tubuh manusia itu adalah milik Allah (milk ikhtishash), maka tidak boleh
memperjualbelikannya. Manusia hanya berhak mempergunakannya, walaupun organ
tubuh itu dari orang lain.
Orang
yang mendonorkan organ tubuhnya pada waktu masih hidup sehat kepada orang lain,
ia akan menghadapi resiko ketidakwajaran, karena mustahil Allah menciptakan
mata atau ginjal secara berpasangan kalau tidak ada hikmah dan manfaatnya bagi
seorang manusia. Maka bila ginjal si donor tidak berfungsi lagi, maka ia sulit
untuk ditolong kembali. Maka sama halnya, menghilangkan penyakit dari resipien
dengan cara membuat penyakit baru bagi si donor. Hal ini tidak diperbolehkan
karena dalam qaidah fiqh disebutkan:
الضَّرَرُ لاَ
يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“Bahaya (kemudharatan) tidak boleh
dihilangkan dengan bahaya (kemudharatan) lainnya”.[6]
b. Qaidah Fiqhiyyah
دَرْءُ
اْلمَفاَسِدِ مُقَدَّمٌ عَلىَ جَلْبِ اْلمَصَالِحِ
“Menghindari kerusakan/resiko,
didahulukan dari/atas menarik kemaslahatan”[7]
Berkaitan
transplantasi, seseorang harus lebih mengutamakan menjaga dirinya dari
kebinasaan, daripada menolong orang lain dengan cara mengorbankan diri sendiri
dan berakibat fatal, akhirnya ia tidak mampu melaksanakan tugas dan
kewajibannya, terutama tugas kewajibannya dalam melaksanakan ibadah.
2. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan Koma
Melakukan
transplantasi organ tubuh donor dalam keadaan koma, hukumnya tetap haram,
walaupun menurut dokter, bahwa si donor itu akan segera meninggal, karena hal
itu dapat mempercepat kematiannya dan mendahului kehendak Allah, hal tersebut
dapat dikatakan ‘euthanasia’ atau mempercepat kematian. Namun perlu
ditambahkan di sini bahwa keharaman yang dimaksud di sini adalah apabila si
sakit itu mempunyai kemungkinan itu bisa diobati dan obat tersebut masih
berpengaruh terhadap penyakitnya. Sebab jikahal ini dilakuka oleh pasien, maka
hal ini dokter telah melakukan pembunuhan secara aktif, dan hal ini tidak
dibenarkan oleh syariat agama.Tidaklah berperasaan/bermoral melakukan
transplantasi atau mengambil organ tubuh dalam keadaan sekarat. Orang yang
sehat seharusnya berusaha untuk menyembuhkan orang yang sedang koma tersebut,
meskipun menurut dokter, bahwa orang yang sudah koma tersebut sudah tidak ada
harapan lagi untuk sembuh. Sebab ada juga orang yang dapat sembuh kembali walau
itu hanya sebagian kecil, padahal menurut medis, pasien tersebut sudah tidak
ada harapan untuk hidup. Maka dari itu, mengambil organ tubuh donor dalam
keadaan koma, tidak boleh menurut Islam lanjut dari itu bahwa menurut pendapat
mayoritas ulama, salah satunya adalah DR. Yusuf Qardawi bahwa apabila
pengobatan itu tidak lagi berfungsi dalam artian bahwa dokter ahli telah
menfonis bahwa melanjutkan pengobatan hanya sia-sia saja, maka dengan hal ini
dokter dapat mengambil organ tubuh si pasien untuk dilakukan transplantasi.
Dan
perlu ditambahkan di sini bahwa, dalam kesepakatan para ahli bahwa apabila
sudah ada indikasi dari salah satu dari dua indikasi tersebut, maka dapat diponis
seseorang dianggap telah meninggal dunia:
1. Apabila jantung dan pernapasannya
telah berhenti total dan dokter ahli telah menponis bahwa jantung dan
pernapasannya tidak lagi hidup kembali;
2. Apabila otak dan sistem syarafnya
telah mati total, dan dokter ahli menponis tidak ada lagi harapan untuk
disembuhkan, maka hal itu dianggap telah meninggal dunia.
Di
bawah ini ada beberapa qaidah atau dalil yang dapat dijadikan sebagai rujukan
terhadap kebolehan dan tidak bolehnya melakukan taransplantasi organ tubuh:
a.
Hadits
Nabi, riwayat Malik dari ‘Amar bin Yahya, riwayat al-Hakim, al-Baihaqi dan
al-Daruquthni dari Abu Sa’id al-Khudri dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas
dan ‘Ubadah bin al-Shamit :
لاَ ضَرَرَ وَلاَ
ضِرَارَ
“Tidak boleh membuat madharat pada
diri sendiri dan tidak boleh pula membuat madharat pada orang lain”.[8]
Berdasarkan
hadits tersebut, mengambil organ tubuh orang dalam keadaan koma/sekarat haram
hukumnya, karena dapat membuat madharat kepada donor tersebut yang berakibat
mempercepat kematiannya, yang disebut euthanasia.
b. Manusia wajib berusaha untuk
menyembuhkan penyakitnya demi mempertahankan hidupnya, karena hidup dan mati
berada di tangan Allah. Oleh karena itu, manusia tidak boleh mencabut nyawanya
sendiri atau mempercepat kematian orang lain, meskipun hal itu dilakukan oleh
dokter dengan maksud mengurangi atau menghilangkan penderitaan pasien.
3. Hukum Transplantasi Organ Tubuh Donor Dalam Keadaan
Meninggal
Mengambil
organ tubuh donor (jantung, mata atau ginjal) yang sudah meninggal secara
yuridis dan medis, hukumnya mubah, yaitu dibolehkan menurut pandangan Islam
dengan syarat bahwa :
a.
Resipien
(penerima sumbangan organ tubuh) dalam keadaan darurat yang mengancam jiwanya
bila tidak dilakukan transplantasi itu, sedangkan ia sudah berobat secara
optimal baik medis maupun non medis, tetapi tidak berhasil. Hal ini berdasarkan
qaidah fiqhiyyah :
الضَّرُوْرَاتُ
تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاتِ
“Darurat akan membolehkan yang
diharamkan”[9]
Juga
berdasarkan qaidah fiqhiyyah :
الضَّرَرُ يُزَالُ
“Bahaya itu harus dihilangkan”[10]
b. Juga pencangkokan cocok dengan organ
resipien dan tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat
baginya dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Di samping itu harus ada wasiat
dari donor kepada ahli warisnya, untuk menyumbangkan organ tubuhnya bila ia
meninggal, atau ada izin dari ahli warisnya.
Demikian ini sesuai dengan fatwa
Majelis Ulama Indonesia tanggal 29 Juni 1987, bahwa dalam kondisi tidak ada
pilihan lain yang lebih baik, maka pengambilan katup jantung orang yang telah
meninggal untuk kepentingan orang yang masih hidup, dapat dibenarkan oleh hukum
Islam dengan syarat ada izin dari yang bersangkutan (lewat wasiat sewaktu masih
hidup) dan izin keluarga/ahli waris.[11]
Adapun fatwa MUI tersebut
dikeluarkan setelah mendengar penjelasan langsung Dr. Tarmizi Hakim kepada UPF
bedah jantung RS Jantung “Harapan Kita” tentang teknis pengambilan katup
jantung serta hal-hal yang berhubungan dengannya di ruang sidang MUI pada
tanggal 16 Mei 1987. Komisi Fatwa sendiri mengadakan diskusi dan pembahasan
tentang masalah tersebut beberapa kali dan terakhir pada tanggal 27 Juni 1987.[12]
Adapun
dalil-dalil yang dapat menjadi dasar dibolehkannya transplantasi organ tubuh,
antara lain:
a.
QS.
Al-Baqarah/2: 195 yang telah kami sebutkan dalam pembahasan didepan, yaitu
bahwa Islam tidak membenarkan seseorang membiarkan dirinya dalam bahaya, tanpa
berusaha mencari penyembuhan secara medis dan non medis, termasuk upaya
transplantasi, yang memberi harapan untuk bisa bertahan hidup dan menjadi sehat
kembali.
b.
Allah
swt., berfirman QS. Al-Maidah/5: 32
….وَمَنۡ
أَحۡيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحۡيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعٗاۚۡ
…٣٢
Terjemahannya:
….“Dan barangsiapa yang memelihara
kehidupan seorang manusia, maka seakan-akan dia telah memelihara kehidupan semua
manusia”…. (QS. Al-Maidah/5: 32)[13]
Ayat
tersebut menunjukkan bahwa tindakan kemanusiaan (seperti transplantasi) sangat
dihargai oleh agama Islam, tentunya sesuai dengan syarat-syarat yang telah
disebutkan di atas.
c.
QS. Al-Maidah/5:
2:
….وَتَعَاوَنُواْ
عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ…. ٢
Tejemahannya:
..“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosia dan permusuhan”… (QS. Al-Māidah/5: 2)[14]
Selain itu juga ayat 195 pada surah
al-Baqarah, menganjurkan agar kita berbuat baik.
وَأَنفِقُواْ
فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا تُلۡقُواْ بِأَيۡدِيكُمۡ إِلَى ٱلتَّهۡلُكَةِ
وَأَحۡسِنُوٓاْۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٩٥
Terjemahannya:
“Dan
berbuat baiklah karena Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”. (QS.al-Baqarah/2: 195)[15]
Menyumbangkan
organ tubuh si mayit merupakan suatu perbuatan tolong-menolong dalam kebaikan,
karena memberi manfaat bagi orang lain yang sangat memerlukannya.
Pada dasarnya, pekerjaan
transplantasi dilarang oleh agama Islam, karena agama Islam memuliakan manusia
berdasarkan surah al-Isra ayat 70, juga menghormati jasad manusia walaupun
sudah menjadi mayat, berdasarkan hadits Rasulullah saw. : “Sesungguhnya
memecahkan tulang mayat muslim, sama seperti memecahkan tulangnya sewaktu masih
hidup”. (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah, Said Ibn Mansur dan Abd. Razzaq
dari ‘Aisyah).[16]
Tetapi menurut Abdul Wahab
al-Muhaimin; meskipun pekerjaan transplantasi itu diharamkan walau pada orang
yang sudah meninggal, demi kemaslahatan karena membantu orang lain yang sangat
membutuhkannya, maka hukumnya mubah/dibolehkan selama dalam pekerjaan
transplantasi itu tidak ada unsur merusak tubuh mayat sebagai penghinaan
kepadanya[17]
Hal
ini didasarkan pada qaidah fiqhiyyah :
إذَا تَعَارَضَتْ
مَفْسَدَتاَنِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“Apabila bertemu dua hal yang
mendatangkan mafsadah (kebinasaan), maka dipertahankan yang mendatangkan
madharat yang paling besar, dengan melakukan perbuatan yang paling ringan
madharatnya dari dua madharat”.[18]
d. Hadits Nabi saw.
تَدَاوُوْا
عِبَادَ اللهِ فَإِنَّ الله َلَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ
دَاءٍ وَاحِدٍ اْلهَرَمُ
“Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya
Allah tidak meletakkan suatu penyakit kecuali dia juga telah meletakkan obat
penyembuhnya, selain penyakit yang satu, yaitu penyakit tua”.(HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan
al-Hakim dari Usamah ibnu Syuraih)
Oleh
sebab itu, transplantasi sebagai upaya menghilangkan penyakit, hukumnya mubah,
asalkan tidak melanggar norma ajaran Islam.
Dalam hadits lain, Rasulullah
bersabda pula : “Setiap penyakit ada obatnya, apabila obat itu tepat, maka
penyakit itu akan sembuh atas izin Allah”. (HR. Ahmad dan Muslim dari
Jabir)[19]
Selanjutnya
berkenaan dengan hukum antara donor dan resipien yang seagama atau tidak
seagama, serta hukum organ tubuh yang diharamkan seperti babi, juga dapat
menimbulkan masalah, tetapi hal tersebut dapat dikaji berdasar dari ayat
al-Quran sebagai berikut:
1.
QS.al-Najm/53: 38-41:
أَلَّا
تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰ ٣٨
وَأَن لَّيۡسَ لِلۡإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ ٣٩ وَأَنَّ سَعۡيَهُۥ سَوۡفَ
يُرَىٰ ٤٠ ثُمَّ يُجۡزَىٰهُ ٱلۡجَزَآءَ ٱلۡأَوۡفَىٰ
٤١
Terjemahannya:
“Bahwa
seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwa manusia itu
tidak memperoleh selain apa yang ia usahakan. Dan bahwa usahanya itu kelak akan
diperlihatkan. Kemudian akan diberi balasannya dengan balasan yang paling
sempurna”. (QS. An-Najm/53: 38-41)[20]
2.
QS.al-Baqarah/2: 286 :
….
لَهَا مَا كَسَبَتۡ وَعَلَيۡهَا مَا ٱكۡتَسَبَتۡۗ….. ٢٨٦
Terjemahannya:
“Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang
diperbuatnya”.
(QS. Al-Baqarah/2: 286)[21]
Berdasar
ayat-ayat di atas, berkenaan dengan hubungan antara donor dengan resipien yang
menyangkut pahala atau dosa maka dalam hal ini mereka masing-masing akan
mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan mereka sendiri-sendiri. Mereka
tidak akan dibebani dengan pahala atau dosa, kecuali yang dilakukan oleh
masing-masing mereka. Yang perlu diingat, bahwa yang salah bukan organ tubuh,
tetapi pusat pengendali, yaitu pusat urat syaraf. Oleh sebab itu, tidak perlu
khawatir dengan organ tubuh yang disumbangkan, karena tujuannya adalah untuk
kemanusiaan dan dilakukan dalam keadaan darurat. Hal ini sama dengan hukum
tranfusi darah. Namun alangkah baiknya dan sangat diharapkan demi kemaslahatan,
jika organ tubuh itu kita dapatkan dari seorang muslim juga, demi ketenangan
kita dalam menjalankan kehidupan untuk ibadah, dengan dasar :
اْلأَصْلُ فيِ اْلأَشْياَءِ اْلإِباَحَةُ
حَتىَّ يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلىَ التَّحْرِيْمِ
Selanjutnya,
bertalian dengan transplantasi dengan organ tubuh hewan diharamkan yang
dicangkokkan kepada manusia, seperti katup jantung babi atau ginjalnya, dalam
hal ini haram hukumnya, di sisi lain hal itu bisa saja dilakukan manakala dalam
keadaan darurat, sebab darurat membolehkan suatu yang diharamkan dengan dasar
qaidah fiqh :
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ اْلمَحْظُوْرَاتِ
“Darurat akan membolehkan yang
diharamkan”[22]
Sedangkan
menyankut hukum tentang transplantasi organ tubuh, lebih lanjut ditulis oleh
DR. Yusuf Qardawi di dalam tulisannya tentang FATWA-FATWA KONTEMPORERNYA,
sebagai berikut:
BOLEHKAH ORANG MUSLIM MENDERMAKAN ORGAN TUBUHNYA
KETIKA DIA MASIH HIDUP?
Ada yang mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang mendermakan atau mendonorkan sesuatu ialah apabila itu miliknya. Maka, apakah seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakannya sekehendak hatinya, misalnya dengan mendonorkannya atau lainnya? Atau, apakah tubuh itu merupakan titipan dari Allah yang tidak boleh ia pergunakan kecuali dengan izin-Nya? Sebagaimana seseorang tidak boleh memperlakukan tubuhnya dengan semau sendiri pada waktu dia hidup dengan melenyapkannya dan membunuhnya (bunuh diri), maka dia juga tidak boleh mempergunakan sebagian tubuhnya jika sekiranya menimbulkan mudarat buat dirinya.
Namun demikian, perlu diperhatikan disini bahwa meskipun tubuh merupakan titipan dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan dan mempergunakannya, sebagaimana harta. Harta pada hakikatnya milik Allah sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur'an, misalnya dalam firman Allah QS. (an-Nur/24: 33):
Ada yang mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang mendermakan atau mendonorkan sesuatu ialah apabila itu miliknya. Maka, apakah seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakannya sekehendak hatinya, misalnya dengan mendonorkannya atau lainnya? Atau, apakah tubuh itu merupakan titipan dari Allah yang tidak boleh ia pergunakan kecuali dengan izin-Nya? Sebagaimana seseorang tidak boleh memperlakukan tubuhnya dengan semau sendiri pada waktu dia hidup dengan melenyapkannya dan membunuhnya (bunuh diri), maka dia juga tidak boleh mempergunakan sebagian tubuhnya jika sekiranya menimbulkan mudarat buat dirinya.
Namun demikian, perlu diperhatikan disini bahwa meskipun tubuh merupakan titipan dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan dan mempergunakannya, sebagaimana harta. Harta pada hakikatnya milik Allah sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur'an, misalnya dalam firman Allah QS. (an-Nur/24: 33):
...وَءَاتُوهُم
مِّن مَّالِ ٱللَّهِ ٱلَّذِيٓ ءَاتَىٰكُمٞ… ٣٣
Terjamahannya:
"... dan
berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya
kepadamu ..."
Akan tetapi, Allah
memberi wewenang kepada manusia untuk memilikinya dan
membelanjakan harta itu.
Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya. Hanya perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh mendermakan atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan yang sangat, atau dari kehidupan yang sengsara. Apabila seorang muslim dibenarkan menceburkan dirinya ke laut untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah jilatan api untuk memadamkan kebakaran, maka mengapakah tidak diperbolehkan seorang muslim mempertaruhkan sebagian wujud materiilnya (organ tubuhnya) untuk kemaslahatan orang lain yang membutuhkannya?
Pada zaman sekarang kita melihat adanya donor darah, yang merupakan bagian dari tubuh manusia, telah merata di negara-negara kaum muslim tanpa ada seorang ulama pun yang mengingkarinya, bahkan mereka menganjurkannya atau ikut serta menjadi donor. Maka ijma' sukuti (kesepakatan ulama secara diam-diam) ini --menurut sebagian fatwa yang muncul mengenai masalah ini-- menunjukkan bahwa donor darah dapat diterima syara'.
Didalam kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat itu harus dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk menolong orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa, menolong orang yang terluka, memberi makan orang yang kelaparan, melepaskan tawanan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwanya maupun lainnya.
Maka tidak diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu dharar (bencana, bahaya) yang menimpa seseorang atau sekelompok orang, tetapi dia tidak berusaha menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya, atau tidak berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.
Karena itu saya katakan bahwa berusaha menghilangkan penderitaan seorang muslim yang menderita gagal ginjal misalnya, dengan mendonorkan salah satu ginjalnya yang sehat, maka tindakan demikian diperkenankan syara', bahkan terpuji dan berpahala bagi orang yang melakukannya. Karena dengan demikian berarti dia menyayangi orang yang di bumi, sehingga dia berhak mendapatkan kasih sayang dari yang di langit.
Islam tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan Islam menganggap semua kebaikan (al-ma'ruf) sebagai sedekah. Maka mendermakan sebagian organ tubuh termasuk kebaikan (sedekah). Bahkan tidak diragukan lagi, hal ini termasuk jenis sedekah yang paling tinggi dan paling utama, karena tubuh (anggota tubuh) itu lebih utama daripada harta, sedangkan seseorang mungkin saja menggunakan seluruh harta kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati) sebagian anggota tubuhnya. Karena itu, mendermakan sebagian organ tubuh karena Allah Ta'ala merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang paling utama dan sedekah yang paling mulia.
Kalau kita katakan orang hidup boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka apakah kebolehan itu bersifat mutlak atau ada persyaratan tertentu?
Jawabannya, bahwa kebolehannya itu bersifat muqayyad (bersyarat). Maka seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan dharar, kemelaratan, dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya.
Oleh sebab itu, tidak diperkenankan seseorang mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena dia tidak mungkin dapat hidup tanpa adanya organ tersebut; dan tidak diperkenankan menghilangkan dharar dari orang lain dengan menimbulkan dharar pada dirinya. Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi: "Dharar (bahaya, kemelaratan, kesengsaraan, nestapa) itu harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi: "Dharar itu tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan dharar pula."
Para ulama ushul menafsirkan kaidah tersebut dengan pengertian: tidak boleh menghilangkan dharar dengan menimbulkan dharar yang sama atau yang lebih besar daripadanya.
Karena itu tidak boleh mendermakan organ tubuh bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki. Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang lain dengan menimbulkan dharar pada diri sendiri yang lebih besar, sebab dengan begitu dia mengabaikan kegunaan organ itu bagi dirinya dan menjadikan buruk rupanya.
Begitu pula halnya organ tubuh bagian dalam yang berpasangan tetapi salah satu dari pasangan itu tidak berfungsi atau sakit, maka organ ini dianggap seperti satu organ.
Hal itu merupakan contoh bagi yang dharar-nya menimpa salahseorang yang mempunyai hak tetap terhadap penderma (donor),seperti hak istri, anak, suami, atau orang yang berpiutang(mengutangkan sesuatu kepadanya).
Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya. Hanya perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh mendermakan atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan yang sangat, atau dari kehidupan yang sengsara. Apabila seorang muslim dibenarkan menceburkan dirinya ke laut untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah jilatan api untuk memadamkan kebakaran, maka mengapakah tidak diperbolehkan seorang muslim mempertaruhkan sebagian wujud materiilnya (organ tubuhnya) untuk kemaslahatan orang lain yang membutuhkannya?
Pada zaman sekarang kita melihat adanya donor darah, yang merupakan bagian dari tubuh manusia, telah merata di negara-negara kaum muslim tanpa ada seorang ulama pun yang mengingkarinya, bahkan mereka menganjurkannya atau ikut serta menjadi donor. Maka ijma' sukuti (kesepakatan ulama secara diam-diam) ini --menurut sebagian fatwa yang muncul mengenai masalah ini-- menunjukkan bahwa donor darah dapat diterima syara'.
Didalam kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat itu harus dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk menolong orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa, menolong orang yang terluka, memberi makan orang yang kelaparan, melepaskan tawanan, mengobati orang yang sakit, dan menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwanya maupun lainnya.
Maka tidak diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu dharar (bencana, bahaya) yang menimpa seseorang atau sekelompok orang, tetapi dia tidak berusaha menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya, atau tidak berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.
Karena itu saya katakan bahwa berusaha menghilangkan penderitaan seorang muslim yang menderita gagal ginjal misalnya, dengan mendonorkan salah satu ginjalnya yang sehat, maka tindakan demikian diperkenankan syara', bahkan terpuji dan berpahala bagi orang yang melakukannya. Karena dengan demikian berarti dia menyayangi orang yang di bumi, sehingga dia berhak mendapatkan kasih sayang dari yang di langit.
Islam tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan Islam menganggap semua kebaikan (al-ma'ruf) sebagai sedekah. Maka mendermakan sebagian organ tubuh termasuk kebaikan (sedekah). Bahkan tidak diragukan lagi, hal ini termasuk jenis sedekah yang paling tinggi dan paling utama, karena tubuh (anggota tubuh) itu lebih utama daripada harta, sedangkan seseorang mungkin saja menggunakan seluruh harta kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati) sebagian anggota tubuhnya. Karena itu, mendermakan sebagian organ tubuh karena Allah Ta'ala merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang paling utama dan sedekah yang paling mulia.
Kalau kita katakan orang hidup boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka apakah kebolehan itu bersifat mutlak atau ada persyaratan tertentu?
Jawabannya, bahwa kebolehannya itu bersifat muqayyad (bersyarat). Maka seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan dharar, kemelaratan, dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya.
Oleh sebab itu, tidak diperkenankan seseorang mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena dia tidak mungkin dapat hidup tanpa adanya organ tersebut; dan tidak diperkenankan menghilangkan dharar dari orang lain dengan menimbulkan dharar pada dirinya. Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi: "Dharar (bahaya, kemelaratan, kesengsaraan, nestapa) itu harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi: "Dharar itu tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan dharar pula."
Para ulama ushul menafsirkan kaidah tersebut dengan pengertian: tidak boleh menghilangkan dharar dengan menimbulkan dharar yang sama atau yang lebih besar daripadanya.
Karena itu tidak boleh mendermakan organ tubuh bagian luar, seperti mata, tangan, dan kaki. Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang lain dengan menimbulkan dharar pada diri sendiri yang lebih besar, sebab dengan begitu dia mengabaikan kegunaan organ itu bagi dirinya dan menjadikan buruk rupanya.
Begitu pula halnya organ tubuh bagian dalam yang berpasangan tetapi salah satu dari pasangan itu tidak berfungsi atau sakit, maka organ ini dianggap seperti satu organ.
Hal itu merupakan contoh bagi yang dharar-nya menimpa salahseorang yang mempunyai hak tetap terhadap penderma (donor),seperti hak istri, anak, suami, atau orang yang berpiutang(mengutangkan sesuatu kepadanya).
Pada suatu hari pernah ada seorang wanita bertanya kepada saya bahwa dia ingin mendonorkan salah satu ginjalnya kepada saudara perempuannya, tetapi suaminya tidak memperbolehkannya, apakah memang ini termasuk hak suaminya?
Saya jawab bahwa suami punya hak atas istrinya. Apabila ia (si istri) mendermakan salah satu ginjalnya, sudah barang tentu ia harus dioperasi dan masuk rumah sakit, serta memerlukan perawatan khusus. Semua itu dapat menghalangi sebagian hak suami terhadap istri, belum lagi ditambah dengan beban-beban lainnya. Oleh karena itu, seharusnya hal itu dilakukan dengan izin dan kerelaan suami.
Disamping itu, mendonorkan organ tubuh hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa dan berakal sehat. Dengan demikian, tidak diperbolehkan anak kecil mendonorkan organ tubuhnya, sebab ia tidak tahu persis kepentingan dirinya, demikian pula halnya orang gila.
Begitu juga seorang wali, ia tidak boleh mendonorkan organ tubuh anak kecil dan orang gila yang dibawah perwaliannya, disebabkan keduanya tidak mengerti. Terhadap harta mereka saja wali tidak boleh mendermakannya, lebih-lebih jika ia mendermakan sesuatu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada harta, semisal organ tubuh.
MEMBERIKAN DONOR KEPADA ORANG NON-MUSLIM
Mendonorkan organ tubuh itu seperti menyedekahkan harta. Hal ini boleh dilakukan terhadap orang muslim dan nonmuslim, tetapi tidak boleh diberikan kepada orang kafir harbi yang memerangi kaum muslim. Misalnya, menurut pendapat saya, orang kafir yang memerangi kaum muslim lewat perang pikiran dan yang berusaha merusak Islam.
Demikian pula tidak diperbolehkan mendonorkan organ tubuh kepada orang murtad yang keluar dari Islam secara terang-terangan. Karena menurut pandangan Islam, orang murtad berarti telah mengkhianati agama dan umatnya sehingga ia berhak dihukum bunuh. Maka bagaimana kita akan menolong orang seperti ini untuk hidup?
Apabila ada dua orang yang membutuhkan bantuan donor, yang satu muslim dan satunya lagi nonmuslim, maka yang muslim itulah yang harus diutamakan. Allah berfirman QS. (atTaubah/9:71):
… أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ...
Terjamahan:
"Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebagian yanglain ..."
Bahkan
seorang muslim yang saleh dan komitmen
terhadap agamanya lebih utama untuk diberi donor daripada orang fasik yang
mengabaikan kewajiban-kewajibannya kepada Allah. Karena dengan
hidup dan sehatnya muslim yang saleh itu berarti si pemberi donor telah
membantunya melakukan ketaatan kepada Allah dan
memberikan manfaat kepada sesama makhluk-Nya. Hal ini berbeda
dengan ahli maksiat yang
mempergunakan nikmat-nikmat Allah hanya untuk bermaksiat
kepada-Nya dan menimbulkan mudarat kepada orang lain.
Apabila si muslim itu kerabat atau tetangga si donor, maka dia lebih utama daripada yang lain, karena tetangga punya hak yang kuat dan kerabat punya hak yang lebih kuat lagi, sebagaimana firman Allah QS. (al-Anfal/8: 75):
Apabila si muslim itu kerabat atau tetangga si donor, maka dia lebih utama daripada yang lain, karena tetangga punya hak yang kuat dan kerabat punya hak yang lebih kuat lagi, sebagaimana firman Allah QS. (al-Anfal/8: 75):
وَأُولُو الأرْحَامِ بَعْضُهُمْ
أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ..
Terjamahannya:
"...
Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab Allah ..."
Juga diperbolehkan
seorang muslim mendonorkan organ tubuhnya kepada orang
tertentu, sebagaimana ia juga
boleh mendermakannya kepada suatu yayasan seperti bank yang khusus
menangani masalah ini (seperti bank mata dan sebagiannya;
Penj.), yang merawat dan memelihara organ tersebut dengan
caranya sendiri, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan apabila
diperlukan.
TIDAK DIPERBOLEHKAN MENJUAL ORGAN TUBUH
Perlu saya ingatkan disini bahwa pendapat yang memperbolehkan donor organ tubuh itu tidak berarti memperbolehkan memperjualbelikannya. Karena jual beli itu --sebagaimana dita'rifkan fuqaha-- adalah tukar-menukar harta secara suka rela, sedangkan tubuh manusia itu bukan harta yang dapat dipertukarkan dan ditawar-menawarkan sehingga organ tubuh manusia menjadi objek perdagangan dan jual beli. Suatu peristiwa yang sangat disesalkan terjadi di beberapa daerah miskin, di sana terdapat pasar yang mirip dengan pasar budak. Di situ diperjualbelikan organ tubuh orang-orang miskin dan orang-orang lemah --untuk konsumsi orang-orang kaya-- yang tidak lepas dari campur tangan "mafia baru" yang bersaing dengan mafia dalam masalah minum-minuman keras, ganja, morfin, dan sebagainya.
Tetapi, apabila orang yang memanfaatkan organ itu memberi sejumlah uang kepada donor --tanpa persyaratan dan tidak ditentukan sebelumnya, semata-mata hibah, hadiah, dan pertolongan-- maka yang demikian itu hukumnya jaiz (boleh), bahkan terpuji dan termasuk akhlak yang mulia. Hal ini sama dengan pemberian orang yang berutang ketika mengembalikan pinjaman dengan memberikan tambahan yang tidak dipersyaratkan sebelumnya. Hal ini diperkenankan syara' dan terpuji, bahkan Rasulullah saw. pernah melakukannya ketika beliau mengembalikan pinjaman (utang) dengan sesuatu yang lebih baik daripada yang dipinjamnya seraya bersabda:
"Sesungguhnya sebaik-baik orang diantara kamu ialah yang lebih baik pembayaran utangnya." (HR Ahmad, Bukhari, Nasa'i, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
BOLEHKAH MEWASIATKAN ORGAN TUBUH SETELAH MENINGGAL DUNIA?
Apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang bermanfaat untuk orang lain serta tidak menimbulkan mudarat pada dirinya sendiri, maka bolehkah dia berwasiat untuk mendonorkan sebagian organ tubuhnya itu setelah dia meninggal dunia nanti?
Menurut pandangan saya, apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan organ tubuhnya pada waktu hidup, yang dalam hal ini mungkin saja akan mendatangkan kemelaratan --meskipun kemungkinan itu kecil-- maka tidaklah terlarang dia mewasiatkannya setelah meninggal dunia nanti. Sebab yang demikian itu akan memberikan manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa menimbulkan mudarat (kemelaratan/ kesengsaraan) sedikit pun kepada dirinya, karena organ-organ tubuh orang yang meninggal akan lepas berantakan dan dimakan tanah beberapa hari setelah dikubur. Apabila ia berwasiat untuk mendermakan organ tubuhnya itu dengan niat mendekatkan diri dan mencari keridhaan Allah, maka ia akan mendapatkan pahala sesuai dengan niat dan amalnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun dalil syara' yang mengharamkannya, sedangkan hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang sahih dan sharih (jelas) yang melarangnya. Dalam kasus ini dalil tersebut tidak dijumpai. Umar r.a. pernah berkata kepada sebagian sahabat mengenai beberapa masalah, "Itu adalah sesuatu yang bermanfaat bagi saudaramu dan tidak memberikan mudarat kepada dirimu, mengapa engkau hendak melarangnya?" Demikianlah kiranya yang dapat dikatakan kepada orang yang melarang masalah mewasiatkan organ tubuh ini.
Ada yang mengatakan bahwa hal ini menghilangkan kehormatan mayit yang sangat dipelihara oleh syariat Islam, yang Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda:
"Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkan tulang orang yang hidup."
Saya tekankan disini bahwa mengambil sebagian organ dari tubuh mayit tidaklah bertentangan dengan ketetapan syara' yang menyuruh menghormatinya. Sebab yang dimaksud dengan menghormati tubuh itu ialah menjaganya dan tidak merusaknya, sedangkan mengoperasinya (mengambil organ yang dibutuhkan) itu dilakukan seperti mengoperasi orang yang hidup dengan penuh perhatian dan penghormatan, bukan dengan merusak kehormatan tubuhnya.
Sementara itu, hadits tersebut hanya membicarakan masalah mematahkan tulang mayit, padahal pengambilan organ ini tidak mengenai tulang. Sesungguhnya yang dimaksud hadits itu ialah larangan memotong-motong tubuh mayit, merusaknya, dan mengabaikannya sebagaimana yang dilakukan kaum jahiliah dalam peperangan-peperangan --bahkan sebagian dari mereka masih terus melakukannya hingga sekarang. Itulah yang diingkari dan tidak diridhai oleh Islam.
Selain itu, janganlah seseorang menolak dengan alasan ulama salaf tidak pernah melakukannya, sedangkan kebaikan itu ialah dengan mengikuti jejak langkah mereka. Memang benar, andaikata mereka memerlukan hal itu dan mampu melakukannya, lantas mereka tidak mau melakukannya. Tetapi banyak sekali perkara yang kita lakukan sekarang ternyata belum pernah dilakukan oleh ulama salaf karena memang belum ada pada zaman mereka. Sedangkan fatwa itu sendiri dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, tradisi, dan kondisi, sebagaimana ditetapkan oleh para muhaqqiq. Meskipun demikian, dalam hal ini terdapat ketentuan yang harus dipenuhi yaitu tidak boleh mendermakan atau mendonorkan seluruh tubuh atau sebagian banyak anggota tubuh, sehingga meniadakan hukum-hukum mayit bagi yang bersangkutan, seperti tentang kewajiban memandikannya, mengafaninya, menshalatinya, menguburnya di pekuburan kaum muslim, dan sebagainya.
Mendonorkan sebagian organ tubuh sama sekali tidak menghilangkan semua itu secara meyakinkan.
TIDAK DIPERBOLEHKAN MENJUAL ORGAN TUBUH
Perlu saya ingatkan disini bahwa pendapat yang memperbolehkan donor organ tubuh itu tidak berarti memperbolehkan memperjualbelikannya. Karena jual beli itu --sebagaimana dita'rifkan fuqaha-- adalah tukar-menukar harta secara suka rela, sedangkan tubuh manusia itu bukan harta yang dapat dipertukarkan dan ditawar-menawarkan sehingga organ tubuh manusia menjadi objek perdagangan dan jual beli. Suatu peristiwa yang sangat disesalkan terjadi di beberapa daerah miskin, di sana terdapat pasar yang mirip dengan pasar budak. Di situ diperjualbelikan organ tubuh orang-orang miskin dan orang-orang lemah --untuk konsumsi orang-orang kaya-- yang tidak lepas dari campur tangan "mafia baru" yang bersaing dengan mafia dalam masalah minum-minuman keras, ganja, morfin, dan sebagainya.
Tetapi, apabila orang yang memanfaatkan organ itu memberi sejumlah uang kepada donor --tanpa persyaratan dan tidak ditentukan sebelumnya, semata-mata hibah, hadiah, dan pertolongan-- maka yang demikian itu hukumnya jaiz (boleh), bahkan terpuji dan termasuk akhlak yang mulia. Hal ini sama dengan pemberian orang yang berutang ketika mengembalikan pinjaman dengan memberikan tambahan yang tidak dipersyaratkan sebelumnya. Hal ini diperkenankan syara' dan terpuji, bahkan Rasulullah saw. pernah melakukannya ketika beliau mengembalikan pinjaman (utang) dengan sesuatu yang lebih baik daripada yang dipinjamnya seraya bersabda:
"Sesungguhnya sebaik-baik orang diantara kamu ialah yang lebih baik pembayaran utangnya." (HR Ahmad, Bukhari, Nasa'i, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
BOLEHKAH MEWASIATKAN ORGAN TUBUH SETELAH MENINGGAL DUNIA?
Apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang bermanfaat untuk orang lain serta tidak menimbulkan mudarat pada dirinya sendiri, maka bolehkah dia berwasiat untuk mendonorkan sebagian organ tubuhnya itu setelah dia meninggal dunia nanti?
Menurut pandangan saya, apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan organ tubuhnya pada waktu hidup, yang dalam hal ini mungkin saja akan mendatangkan kemelaratan --meskipun kemungkinan itu kecil-- maka tidaklah terlarang dia mewasiatkannya setelah meninggal dunia nanti. Sebab yang demikian itu akan memberikan manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa menimbulkan mudarat (kemelaratan/ kesengsaraan) sedikit pun kepada dirinya, karena organ-organ tubuh orang yang meninggal akan lepas berantakan dan dimakan tanah beberapa hari setelah dikubur. Apabila ia berwasiat untuk mendermakan organ tubuhnya itu dengan niat mendekatkan diri dan mencari keridhaan Allah, maka ia akan mendapatkan pahala sesuai dengan niat dan amalnya. Dalam hal ini tidak ada satu pun dalil syara' yang mengharamkannya, sedangkan hukum asal segala sesuatu adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang sahih dan sharih (jelas) yang melarangnya. Dalam kasus ini dalil tersebut tidak dijumpai. Umar r.a. pernah berkata kepada sebagian sahabat mengenai beberapa masalah, "Itu adalah sesuatu yang bermanfaat bagi saudaramu dan tidak memberikan mudarat kepada dirimu, mengapa engkau hendak melarangnya?" Demikianlah kiranya yang dapat dikatakan kepada orang yang melarang masalah mewasiatkan organ tubuh ini.
Ada yang mengatakan bahwa hal ini menghilangkan kehormatan mayit yang sangat dipelihara oleh syariat Islam, yang Rasulullah saw. sendiri pernah bersabda:
"Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkan tulang orang yang hidup."
Saya tekankan disini bahwa mengambil sebagian organ dari tubuh mayit tidaklah bertentangan dengan ketetapan syara' yang menyuruh menghormatinya. Sebab yang dimaksud dengan menghormati tubuh itu ialah menjaganya dan tidak merusaknya, sedangkan mengoperasinya (mengambil organ yang dibutuhkan) itu dilakukan seperti mengoperasi orang yang hidup dengan penuh perhatian dan penghormatan, bukan dengan merusak kehormatan tubuhnya.
Sementara itu, hadits tersebut hanya membicarakan masalah mematahkan tulang mayit, padahal pengambilan organ ini tidak mengenai tulang. Sesungguhnya yang dimaksud hadits itu ialah larangan memotong-motong tubuh mayit, merusaknya, dan mengabaikannya sebagaimana yang dilakukan kaum jahiliah dalam peperangan-peperangan --bahkan sebagian dari mereka masih terus melakukannya hingga sekarang. Itulah yang diingkari dan tidak diridhai oleh Islam.
Selain itu, janganlah seseorang menolak dengan alasan ulama salaf tidak pernah melakukannya, sedangkan kebaikan itu ialah dengan mengikuti jejak langkah mereka. Memang benar, andaikata mereka memerlukan hal itu dan mampu melakukannya, lantas mereka tidak mau melakukannya. Tetapi banyak sekali perkara yang kita lakukan sekarang ternyata belum pernah dilakukan oleh ulama salaf karena memang belum ada pada zaman mereka. Sedangkan fatwa itu sendiri dapat berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat, tradisi, dan kondisi, sebagaimana ditetapkan oleh para muhaqqiq. Meskipun demikian, dalam hal ini terdapat ketentuan yang harus dipenuhi yaitu tidak boleh mendermakan atau mendonorkan seluruh tubuh atau sebagian banyak anggota tubuh, sehingga meniadakan hukum-hukum mayit bagi yang bersangkutan, seperti tentang kewajiban memandikannya, mengafaninya, menshalatinya, menguburnya di pekuburan kaum muslim, dan sebagainya.
Mendonorkan sebagian organ tubuh sama sekali tidak menghilangkan semua itu secara meyakinkan.
BOLEHKAH WALI DAN AHLI
WARIS MENDONORKAN SEBAGIAN ORGAN TUBUH MAYIT?
Apabila seseorang sebelum meninggal diperkenankan berwasiat untuk mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka jika ia (si mayit) tidak berwasiat sebelumnya bolehkah bagi ahli waris dan walinya mendonorkan sebagian organ tubuhnya?
Ada yang mengatakan bahwa tubuh si mayit adalah milik si mayit itu sendiri, sehingga wali atau ahli warisnya tidak diperbolehkan mempergunakan atau mendonorkannya.
Namun begitu, sebenarnya seseorang apabila telah meninggal dunia maka dia tidak dianggap layak memiliki sesuatu. Sebagaimana kepemilikan hartanya yang juga berpindah kepada ahli warisnya, maka mungkin dapat dikatakan bahwa tubuh si mayit menjadi hak wali atau ahli warisnya. Dan boleh jadi syara' melarang mematahkan tulang mayit atau merusak tubuhnya itu karena hendak memelihara hak orang yang hidup melebihi hak orang yang telah mati.
Disamping itu, Pembuat Syariat telah memberikan hak kepada wali untuk menuntut hukum qishash atau memaafkan si pembunuh ketika terjadi pembunuhan dengan sengaja, sebagaimana difirmankan oleh Allah: QS. (al-Isra'/17: 33)
Apabila seseorang sebelum meninggal diperkenankan berwasiat untuk mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka jika ia (si mayit) tidak berwasiat sebelumnya bolehkah bagi ahli waris dan walinya mendonorkan sebagian organ tubuhnya?
Ada yang mengatakan bahwa tubuh si mayit adalah milik si mayit itu sendiri, sehingga wali atau ahli warisnya tidak diperbolehkan mempergunakan atau mendonorkannya.
Namun begitu, sebenarnya seseorang apabila telah meninggal dunia maka dia tidak dianggap layak memiliki sesuatu. Sebagaimana kepemilikan hartanya yang juga berpindah kepada ahli warisnya, maka mungkin dapat dikatakan bahwa tubuh si mayit menjadi hak wali atau ahli warisnya. Dan boleh jadi syara' melarang mematahkan tulang mayit atau merusak tubuhnya itu karena hendak memelihara hak orang yang hidup melebihi hak orang yang telah mati.
Disamping itu, Pembuat Syariat telah memberikan hak kepada wali untuk menuntut hukum qishash atau memaafkan si pembunuh ketika terjadi pembunuhan dengan sengaja, sebagaimana difirmankan oleh Allah: QS. (al-Isra'/17: 33)
وَلَا
تَقۡتُلُواْ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّۗ وَمَن قُتِلَ مَظۡلُومٗا
فَقَدۡ جَعَلۡنَا لِوَلِيِّهِۦ سُلۡطَٰنٗا فَلَا يُسۡرِف فِّي ٱلۡقَتۡلِۖ إِنَّهُۥ
كَانَ مَنصُورٗا ٣٣
Terjamahannya:
"... Dan
barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi
kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas
dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan."
Sebagaimana halnya
ahli waris mempunyai hak melakukan hukum qishash jika mereka
menghendaki, atau melakukan perdamaian dengan menuntut pembayaran diat, sedikit
atau banyak. Atau memaafkannya secara mutlak
karena Allah, pemaafan yang bersifat menyeluruh atau
sebagian, seperti yang disinyalir oleh Allah dalam firmanNya: QS. (al-Baqarah/2:
178)
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ
شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ….
Terjamahannya:
"... Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dlben maaf)
membayar (diat) kepada yang memben maaf dengan cara yang baik (pula) ..."
Maka tidak menutup
kemungkinan bahwa mereka mempunyai hak mempergunakan
sebagian organ tubuhnya, yang sekiranya dapat memberi manfaat kepada orang lain
dan tidak memberi mudarat kepada si mayit. Bahkan mungkin dia mendapat
pahala darinya, sesuai kadar manfaat yang
diperoleh orang sakit yang membutuhkannya
meskipun si mayit tidak berniat, sebagaimana seseorang yang hidup itu mendapat
pahala karena tanamannya dimakan oleh orang lain,
burung, atau binatang lain, atau karena ditimpa musibah, kesedihan,
atau terkena gangguan, hingga terkena duri
sekalipun ... Seperti juga halnya ia memperoleh manfaat
--setelah meninggal dunia-- dari doa anaknya
khususnya dan doa kaum muslim umumnya, serta dengan sedekah mereka
untuknya. Dan telah saya sebutkan bahwa
sedekah dengan sebagian anggota tubuh itu
lebih besar pahalanya daripada sedekah dengan harta.
Oleh karena itu, saya berpendapat tidak terlarang bagi ahli waris mendonorkan sebagian organ tubuh mayit yang dibutuhkan oleh orang-orang sakit untuk mengobati mereka, seperti ginjal, jantung, dan sebagainya, dengan niat sebagai sedekah dari si mayit, suatu sedekah yang berkesinambungan pahalanya selama si sakit masih memanfaatkan organ yang didonorkan itu.
Sebagian saudara di Qatar menanyakan kepada saya tentang mendermakan sebagian organ tubuh anak-anak mereka yang dilahirkan dengan menyandang suatu penyakit sehingga mereka tidak dapat bertahan hidup. Proses itu terjadi pada waktu mereka di rumah sakit, ketika anak-anak itu meninggal dunia. Sedangkan beberapa anak lain membutuhkan sebagian organ tubuh mereka yang sehat --misalnya ginjal-- untuk melanjutkan kehidupan mereka.
Saya jawab bahwa yang demikian itu diperbolehkan, bahkan mustahab, dan mereka akan mendapatkan pahala, insya Allah. Karena yang demikian itu menjadi sebab terselamatkannya kehidupan beberapa orang anak dalam beberapa hari disebabkan kemauan para orang tua untuk melakukan kebaikan yang akan mendapatkan pahala dari Allah. Mudah-mudahan Allah akan mengganti untuk mereka -- karena musibah yang menimpa itu-- melalui anak-anak mereka.
Hanya saja, para ahli waris tidak boleh mendonorkan organ tubuh si mayit jika si mayit sewaktu hidupnya berpesan agar organ tubuhnya tidak didonorkan, karena yang demikian itu merupakan haknya, dan wasiat atau pesannya itu wajib dilaksanakan selama bukan berisi maksiat.
Oleh karena itu, saya berpendapat tidak terlarang bagi ahli waris mendonorkan sebagian organ tubuh mayit yang dibutuhkan oleh orang-orang sakit untuk mengobati mereka, seperti ginjal, jantung, dan sebagainya, dengan niat sebagai sedekah dari si mayit, suatu sedekah yang berkesinambungan pahalanya selama si sakit masih memanfaatkan organ yang didonorkan itu.
Sebagian saudara di Qatar menanyakan kepada saya tentang mendermakan sebagian organ tubuh anak-anak mereka yang dilahirkan dengan menyandang suatu penyakit sehingga mereka tidak dapat bertahan hidup. Proses itu terjadi pada waktu mereka di rumah sakit, ketika anak-anak itu meninggal dunia. Sedangkan beberapa anak lain membutuhkan sebagian organ tubuh mereka yang sehat --misalnya ginjal-- untuk melanjutkan kehidupan mereka.
Saya jawab bahwa yang demikian itu diperbolehkan, bahkan mustahab, dan mereka akan mendapatkan pahala, insya Allah. Karena yang demikian itu menjadi sebab terselamatkannya kehidupan beberapa orang anak dalam beberapa hari disebabkan kemauan para orang tua untuk melakukan kebaikan yang akan mendapatkan pahala dari Allah. Mudah-mudahan Allah akan mengganti untuk mereka -- karena musibah yang menimpa itu-- melalui anak-anak mereka.
Hanya saja, para ahli waris tidak boleh mendonorkan organ tubuh si mayit jika si mayit sewaktu hidupnya berpesan agar organ tubuhnya tidak didonorkan, karena yang demikian itu merupakan haknya, dan wasiat atau pesannya itu wajib dilaksanakan selama bukan berisi maksiat.
BATAS HAK NEGARA MENGENAI PENGAMBILAN ORGAN TUBUH
Apabila kita memperbolehkan ahli waris dan para wali untuk mendonorkan sebagian organ tubuh si mayit untuk kepentingan dan pengobatan orang yang masih hidup, maka bolehkah negara membuat undang-undang yang memperbolehkan mengambil sebagian organ tubuh orang mati yang tidak diketahui identitasnya, dan tidak diketahui ahli waris dan walinya, untuk dimanfaatkan guna menyelamatkan orang lain, yang sakit dan yang terkena musibah?
Tidak jauh kemungkinannya, bahwa yang demikian itu diperbolehkan dalam batas-batas darurat, atau karena suatu kebutuhan yang tergolong dalam kategori darurat, berdasarkan dugaan kuat bahwa si mayit tidak mempunyai wali. Apabila dia mempunyai wali, maka wajib meminta izin kepadanya. Disamping itu, juga tidak didapati indikasi bahwa sewaktu hidupnya dulu si mayit berwasiat agar organ tubuhnya tidak didonorkan.
MENCANGKOKKAN ORGAN TUBUH ORANG KAFIR KEPADA ORANG MUSLIM
Adapun mencangkokkan organ tubuh orang nonmuslim kepada orang muslim tidak terlarang, karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai Islam atau kafir, ia hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya. Apabila suatu organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta'ala. Hal ini sama dengan orang muslim yang mengambil senjata orang kafir dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah.
Bahkan kami katakan bahwa organ-organ di dalam tubuh orang kafir itu adalah muslim (tunduk dan menyerah kepada Allah), selalu bertasbih dan bersujud kepada Allah SWT, sesuai dengan pemahaman yang ditangkap dari Al-Qur'an bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi itu bersujud menyucikan Allah Ta'ala, hanya saja kita tidak mengerti cara mereka bertasbih
Apabila kita memperbolehkan ahli waris dan para wali untuk mendonorkan sebagian organ tubuh si mayit untuk kepentingan dan pengobatan orang yang masih hidup, maka bolehkah negara membuat undang-undang yang memperbolehkan mengambil sebagian organ tubuh orang mati yang tidak diketahui identitasnya, dan tidak diketahui ahli waris dan walinya, untuk dimanfaatkan guna menyelamatkan orang lain, yang sakit dan yang terkena musibah?
Tidak jauh kemungkinannya, bahwa yang demikian itu diperbolehkan dalam batas-batas darurat, atau karena suatu kebutuhan yang tergolong dalam kategori darurat, berdasarkan dugaan kuat bahwa si mayit tidak mempunyai wali. Apabila dia mempunyai wali, maka wajib meminta izin kepadanya. Disamping itu, juga tidak didapati indikasi bahwa sewaktu hidupnya dulu si mayit berwasiat agar organ tubuhnya tidak didonorkan.
MENCANGKOKKAN ORGAN TUBUH ORANG KAFIR KEPADA ORANG MUSLIM
Adapun mencangkokkan organ tubuh orang nonmuslim kepada orang muslim tidak terlarang, karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai Islam atau kafir, ia hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya. Apabila suatu organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah Ta'ala. Hal ini sama dengan orang muslim yang mengambil senjata orang kafir dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah.
Bahkan kami katakan bahwa organ-organ di dalam tubuh orang kafir itu adalah muslim (tunduk dan menyerah kepada Allah), selalu bertasbih dan bersujud kepada Allah SWT, sesuai dengan pemahaman yang ditangkap dari Al-Qur'an bahwa segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi itu bersujud menyucikan Allah Ta'ala, hanya saja kita tidak mengerti cara mereka bertasbih
Kalau begitu, maka yang benar adalah bahwa kekafiran atau keislaman seseorang tidak berpengaruh terhadap organ tubuhnya termasuk terhadap hatinya (organnya) sendiri, yang oleh Al-Qur'an ada yang diklasifikasikan sehat dan sakit, iman dan ragu, mati dan hidup. Padahal yang dimaksud disini bukanlah organ yang dapat diraba (ditangkap dengan indra) yang termasuk bidang garap dokter spesialis dan ahli anatomi, sebab yang demikian itu tidak berbeda antara yang beriman dan yang kafir, serta antara yang taat dan yang bermaksiat. Tetapi yang dimaksud dengannya adalah makna ruhiyahnya yang dengannyalah manusia merasa, berpikir, dan memahami sesuatu, sebagaimana firman Allah QS. (al-Hajj/22: 46)
أَفَلَمۡ
يَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَتَكُونَ لَهُمۡ قُلُوبٞ يَعۡقِلُونَ بِهَآ أَوۡ
ءَاذَانٞ يَسۡمَعُونَ بِهَاۖ فَإِنَّهَا لَا تَعۡمَى ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَلَٰكِن
تَعۡمَى ٱلۡقُلُوبُ ٱلَّتِي فِي ٱلصُّدُورِ ٤٦
Terjamahannya:
"... lalu mereka mempunyai isi
hati yang dengan itu mereka dapat memahami ..”
Terjamannya:
"... mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)
..." (al-A'raf: 179)
Dan firman Allah:
…إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ…
"...
sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis ..." (at-Taubah: 28)
Kata najis dalam ayat
tersebut bukanlah dimaksudkan untuk najis indrawi yang
berhubungan dengan badan, melainkan najis maknawi yang berhubungan dengan hati
dan akal (pikiran).
Karena itu tidak terdapat larangan syara' bagi orang muslim untuk memanfaatkan organ tubuh orang nonmuslim.
PENCANGKOKAN ORGAN BINATANG YANG NAJIS KE TUBUH ORANG MUSLIM
Adapun pencangkokan organ binatang yang dihukumi najis seperti babi misalnya, ke dalam tubuh orang muslim, maka pada dasarnya hal itu tidak perlu dilakukan kecuali dalam kondisi darurat. Sedangkan darurat itu bermacam-macam kondisi dan hukumnya dengan harus mematuhi kaidah bahwa "segala sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu harus diukur menurut kadar kedaruratannya," dan pemanfaatannya harus melalui ketetapan dokter-dokter muslim yang tepercaya.
Mungkin juga ada yang mengatakan disini bahwa yang diharamkan dari babi hanyalah memakan dagingnya, sebagaimana disebutkan Al-Qur'an dalam empat ayat, sedangkan mencangkokkan sebagian organnya ke dalam tubuh manusia bukan berarti memakannya, melainkan hanya memanfaatkannya. Selain itu, Nabi saw. memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai --yaitu kulitnya-- padahal bangkai itu diharamkan bersama-sama dengan pengharaman daging babi dalam Al-Qur'an. Maka apabila syara' memperkenankan memanfaatkan bangkai asal tidak dimakan, maka arah pembicaraan ini ialah diperbolehkannya memanfaatkan babi asalkan tidak dimakan.
Diriwayatkan dalam kitab sahih bahwa Rasulullah saw. pernah melewati bangkai seekor kambing, lalu para sahabat berkata, "Sesungguhnya itu bangkai kambing milik bekas budak Maimunah." Lalu beliau bersabda:
"Mengapa tidak kamu ambil kulitnya lalu kamu samak, lantas kamu manfaatkan?" Mereka menjawab, "Sesungguhnya itu adalah bangkai." Beliau bersabda, "Sesungguhnya yang diharamkan itu hanyalah memakannya."
Permasalahannya sekarang, sesungguhnya babi itu najis, maka bagaimana akan diperbolehkan memasukkan benda najis ke dalam tubuh orang muslim?
Dalam hal ini saya akan menjawab: bahwa yang dilarang syara' ialah mengenakan benda najis dari tubuh bagian luar, adapun yang didalam tubuh maka tidak terdapat dalil yang melarangnya. Sebab bagian dalam tubuh manusia itu justru merupakan tempat benda-benda najis, seperti darah, kencing, tinja, dan semua kotoran; dan manusia tetap melakukan shalat, membaca Al-Qur'an, thawaf di Baitul Haram, meskipun benda-benda najis itu ada di dalam perutnya dan tidak membatalkannya sedikit pun, sebab tidak ada hubungan antara hukum najis dengan apa yang ada didalam tubuh.
TIDAK BOLEH MENDONORKAN BUAH PELIR
Akhirnya pembahasan ini merembet kepada pembicaraan seputar masalah pencangkokan buah pelir seseorang kepada orang lain. Apakah hal itu diperbolehkan, dengan mengqiyaskannya kepada organ tubuh yang lain? Ataukah khusus untuk buah pelir ini tidak diperkenankan memindahkannya dari seseorang kepada orang lain?
Menurut pendapat saya, memindahkan buah pelir tidak diperbolehkan. Para ahli telah menetapkan bahwa buah pelir merupakan perbendaharaan yang memindahkan karakter khusus seseorang kepada keturunannya, dan pencangkokan pelir ke dalam tubuh seseorang, yakni anak keturunan --lewat reproduksi-- akan mewariskan sifat-sifat orang yang mempunyai buah pelir itu, baik warna kulitnya, postur tubuhnya, tingkat inteligensinya, atau sifat jasmaniah, pemikiran, dan mental yang lain.
Hal ini dianggap semacam percampuran nasab yang dilarang oleh syara' dengan jalan apa pun. Karena itu diharamkannya perzinaan, adopsi dan pengakuan kepada orang lain sebagai bapaknya, dan lainnya, yang menyebabkan terjadinya percampuran keluarga atau kaum yang tidak termasuk bagian dari mereka. Maka tidaklah dapat diterima pendapat yang mengatakan bahwa buah pelir bila dipindahkan kepada orang lain berarti telah menjadi bagian dari badan orang tersebut dan mempunyai hukum seperti hukumnya dalam segala hal.
Demikian pula jika otak seseorang dapat dipindahkan kepada orang lain, maka hal itu tidak diperbolehkan, karena akan menimbulkan percampuran dan kerusakan yang besar.
Karena itu tidak terdapat larangan syara' bagi orang muslim untuk memanfaatkan organ tubuh orang nonmuslim.
PENCANGKOKAN ORGAN BINATANG YANG NAJIS KE TUBUH ORANG MUSLIM
Adapun pencangkokan organ binatang yang dihukumi najis seperti babi misalnya, ke dalam tubuh orang muslim, maka pada dasarnya hal itu tidak perlu dilakukan kecuali dalam kondisi darurat. Sedangkan darurat itu bermacam-macam kondisi dan hukumnya dengan harus mematuhi kaidah bahwa "segala sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu harus diukur menurut kadar kedaruratannya," dan pemanfaatannya harus melalui ketetapan dokter-dokter muslim yang tepercaya.
Mungkin juga ada yang mengatakan disini bahwa yang diharamkan dari babi hanyalah memakan dagingnya, sebagaimana disebutkan Al-Qur'an dalam empat ayat, sedangkan mencangkokkan sebagian organnya ke dalam tubuh manusia bukan berarti memakannya, melainkan hanya memanfaatkannya. Selain itu, Nabi saw. memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai --yaitu kulitnya-- padahal bangkai itu diharamkan bersama-sama dengan pengharaman daging babi dalam Al-Qur'an. Maka apabila syara' memperkenankan memanfaatkan bangkai asal tidak dimakan, maka arah pembicaraan ini ialah diperbolehkannya memanfaatkan babi asalkan tidak dimakan.
Diriwayatkan dalam kitab sahih bahwa Rasulullah saw. pernah melewati bangkai seekor kambing, lalu para sahabat berkata, "Sesungguhnya itu bangkai kambing milik bekas budak Maimunah." Lalu beliau bersabda:
"Mengapa tidak kamu ambil kulitnya lalu kamu samak, lantas kamu manfaatkan?" Mereka menjawab, "Sesungguhnya itu adalah bangkai." Beliau bersabda, "Sesungguhnya yang diharamkan itu hanyalah memakannya."
Permasalahannya sekarang, sesungguhnya babi itu najis, maka bagaimana akan diperbolehkan memasukkan benda najis ke dalam tubuh orang muslim?
Dalam hal ini saya akan menjawab: bahwa yang dilarang syara' ialah mengenakan benda najis dari tubuh bagian luar, adapun yang didalam tubuh maka tidak terdapat dalil yang melarangnya. Sebab bagian dalam tubuh manusia itu justru merupakan tempat benda-benda najis, seperti darah, kencing, tinja, dan semua kotoran; dan manusia tetap melakukan shalat, membaca Al-Qur'an, thawaf di Baitul Haram, meskipun benda-benda najis itu ada di dalam perutnya dan tidak membatalkannya sedikit pun, sebab tidak ada hubungan antara hukum najis dengan apa yang ada didalam tubuh.
TIDAK BOLEH MENDONORKAN BUAH PELIR
Akhirnya pembahasan ini merembet kepada pembicaraan seputar masalah pencangkokan buah pelir seseorang kepada orang lain. Apakah hal itu diperbolehkan, dengan mengqiyaskannya kepada organ tubuh yang lain? Ataukah khusus untuk buah pelir ini tidak diperkenankan memindahkannya dari seseorang kepada orang lain?
Menurut pendapat saya, memindahkan buah pelir tidak diperbolehkan. Para ahli telah menetapkan bahwa buah pelir merupakan perbendaharaan yang memindahkan karakter khusus seseorang kepada keturunannya, dan pencangkokan pelir ke dalam tubuh seseorang, yakni anak keturunan --lewat reproduksi-- akan mewariskan sifat-sifat orang yang mempunyai buah pelir itu, baik warna kulitnya, postur tubuhnya, tingkat inteligensinya, atau sifat jasmaniah, pemikiran, dan mental yang lain.
Hal ini dianggap semacam percampuran nasab yang dilarang oleh syara' dengan jalan apa pun. Karena itu diharamkannya perzinaan, adopsi dan pengakuan kepada orang lain sebagai bapaknya, dan lainnya, yang menyebabkan terjadinya percampuran keluarga atau kaum yang tidak termasuk bagian dari mereka. Maka tidaklah dapat diterima pendapat yang mengatakan bahwa buah pelir bila dipindahkan kepada orang lain berarti telah menjadi bagian dari badan orang tersebut dan mempunyai hukum seperti hukumnya dalam segala hal.
Demikian pula jika otak seseorang dapat dipindahkan kepada orang lain, maka hal itu tidak diperbolehkan, karena akan menimbulkan percampuran dan kerusakan yang besar.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan
transplantasi yang dilakukan dalam keadaan masih sehat, itu tidak diperbolehkan
dalam agama dalam hal ini haram hukumnya, sebab dapat mendatangkan mudarat
sendiri pada pendonor, begitupun transplantasi yang dilakukan dalam keadaan
koma, apabila masih ada harapan untuk disembuhkan serta otak dan sistem
syarafnya masih berfungsi sehingga jika dilakukan pengambilan organnya dinilai
sebagai mempercepat kematiannya dan dokter telah melakukan tindakan aktif
(autanasia aktif) sebab agama menganjurkan kita untuk berobat jika sakit. Menyankut
transplantasi yang dilakukan dalam keadaan meninggal agama memperbolehkan
dengan dasar darurat, tapi dengan wasiat pendonor atau dengan izin ahli
warisnya. Wallahu a’lam
B.
Saran
Berbagai
permasalahan kontemporer yang timbul menuntun para ulama agar senantiasa
memberikan alternatif hukum terhadap permasalahan baru yang timbul. Perubahan
sosial memungkinkan adanya perubahan hukum pula agar umat Islam sebagai makhluk
Allah dapat menjalankan hidupnya sesuai dengan zamannya yang tetap berdasar
kepada nilai-nilai yang telah digariskan oleh agama. Agar agama yang dibawa
oleh baginda Rasulullah saw., tidak ditelan zaman sebagai agama rahmatal lil ‘alamįn agar senantiasa
exsis sepanjang kehidupan manusia hingga akhir zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Suyuthi,
Al-Asybah wa al-Nazhair, Beirut-Lebanon: Dar-al-Fikr, 1415 H/1995 M.
Departemen
Agama RI, Al-Quran dan terjemahan, al-Hikmah,
Bandung: Diponegoro, 2009.
Mubarok,
Jaih, Kaidah Fiqh Sejarah dan Kaidah Asasi, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, Cet. I, Januari 2002
MUI,
Himpunan Keputusan dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta:
Sekretariat MUI, 1415 H/1994 M.
Musbikin,
Imam, Qawa’id Fiqhiyyah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cet. I, Mei
2001
Nata,
Abuddin (ed), Masail Fiqhiyyah, Kencana kerjasama dengan UIN Jakarta
Press, Edisi I, Juli 2003.
Panji
Masyarakat, No. 514 Tahun XXVIII, 1 September 1986.
Qardawi,
Yusuf. FATWA-FATWA KONTEMPORER
Ridho,
Rasyid, Tafsir al-Manar, Vol. II, Mesir: Dar-al-Manar, 1373.
Sabiq,
Vide Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Vol III, Lebanon: Dar-al-Fikr, 1981.
Zuhdi
Masjfuk, Masail Fiqhiyyah, Jakarta: Haji Masagung, 1991.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar